Pixel Codejatimnow.com

Karya Menakjubkan Perempuan Pengkaji Seni dalam Pameran Sido Ngroso Sido Nglakoni di Yogyakarta

Editor : Endang Pergiwati  Reporter : Ahaddiini HM
Hendro Wiyanto Kurator Artjog, sedang menyimak karya Rumah Tanpa Jejak dalam Pameran Sido Ngroso Sido Nglakoni.(PPS for jatimnow.com)
Hendro Wiyanto Kurator Artjog, sedang menyimak karya Rumah Tanpa Jejak dalam Pameran Sido Ngroso Sido Nglakoni.(PPS for jatimnow.com)

jatimmow.com - Kolektif Perempuan Pengkaji Seni (PPS) mengadakan pameran "Sido Ngroso, Sido Nglakoni" dari hasil seleksi yang diadakan oleh Cemeti- Institute Untuk Seni dan Masyarakat di Yogyakarta.

Pameran "Sido Ngroso, Sido Nglakoni" yang digelar dari tanggal 30 Juni- 27 Juli 2023 dengan kurator Alia Swastika ini, diawali dengan sesi pembukaan pada tanggal 30 Juni, dilanjutkan dengan program publik mengenai workshop jurnal "Dear Diary" pada Minggu(1/7/2023), diskusi publik pada Minggu (14/7/2023) dan live performance art "Rotary" Senin (22/7/2023).

PPS sebagai kolektif pergerakan para perempuan kreatif, imajinatif dan penuh prestasi dari berbagai macam daerah di Jawa Timur ini menampilkan beberapa karya, antara lain yang merupakan arsip perjalanan dan pergerakan PPS, karya berjudul "Dear-Diary", "Gak Bahaya Tah?!", "Lebbi Bagus Pote Tolang Atembang Pote Mata" (lebih baik mati daripada hidup menanggung malu), " Negoisasi Dadi Wadon", "Rumah Tanpa Jejak" dan "Rotary".

Anggota PPS (PPS for Jatim Now)Anggota PPS (PPS for Jatim Now)

Segala karya PPS pada pameran tunggal "Sido Ngroso, Sido Nglakoni" mempunyai makna gambaran yang sangat dalam dari segala peristiwa dan problematika perempuan yang terjadi, mulai kesetaraan gender, budaya, lingkungan dan sosial di kehidupan sehari-hari.

Syska La Veggie (34) salah satu dari 12 anggota Perempuan Pengkaji Seni menjelaskan dalam persiapan untuk pameran tunggal ini menghabiskan waktu selama 6 bulan dimulai sejak akhir tahun lalu, Minggu (2/7/2023).

Baca juga:
SD Pembangunan Jaya Sidoarjo Pamerkan Produk Daur Ulang di Hari Peduli Sampah

Syska menjelaskan bahwa di setiap karya menceritakan kisah peristiwa yang terjadi di setiap wilayah. Salah satunya adalah karya mengenai peristiwa Lumpur Lapindo 17 tahun yang lalu.

"Setiap karya ada cerita sendiri misal masalah lumpur Lapindo di Sidoarjo pada karya "Rumah Tanpa Jejak". Karya ini tercipta dari cerita beberapa anak sebagai korban atas peristiwa itu. Mereka bercerita dari rasa trauma karena kehilangan rumah, kesempatan bermain, belajar hingga waktu berkumpul bersama keluarga," ungkapnya.

Tidak hanya itu, Syska juga menjelaskan mengenai makna di setiap karya PPS, antara lain karya “Gak Bahaya Tah ?!" yang bercerita mengenai proses transformasi yang tidak hanya berkaitan dengan bentuk, melainkan juga re-kreasi atas makna dan posisi objek batu bata PT PRIA yang terbuat dari limbah medis popok dan bahan - bahan lain.

Baca juga:
Menikmati Astrophotography Karya Arik S. Wartono di Katirin Art House

Selanjutnya adalah mengenai pertarungan antara ruang publik dan ruang domestik serta ruang pertemuan yang penuh negosiasi pada karya "Negoisasi Dadi Wadon". Perihal tradisi carok Madura tentang kebudayaan patriarkis dengan pemaknaan masa kini sebagai sumber kekuatan para perempuan dalam menghadapi kehidupan seperti pada karya "Lebbi Bagus Pote Tolang Atembang Pote Mata" (lebih baik mati daripada hidup menanggung malu). 

Sebagai penyampaian memori sejarah bersama dalam upaya pergerakan dan perjuangan Perempuan Pengkaji Seni (PPS) terkait pandemi Covid-19 ditampilkan pada karya "Dear-Diary", kegelisahan lingkungan yang terkikis oleh industrialisasi dan kapitalisme "Perempuan dan Tanah yang Dipijak" serta menampilkan karya 2022 sebagai The Winner of 100 Million Ide dari Seventh Bandung Contemporary Art Awards seniman Muda dalam even Bandung Art Contemporary Awards yang kala itu, bercerita mengenai dominasi industri garmen sekitar kawasan Surabaya yang mempunyai dampak baik dan buruk pada perempuan "Rotary".