Pixel Codejatimnow.com

Mencicipi Wedang Tape Ketan Hitam Bojonegoro, Primadona Sejak 1950

Editor : Zaki Zubaidi  Reporter : Ni'am Kurniawan
Waroeg Ireng di Jalan KH Mansyur nomor 100, Bojonegoro. (Foto-foto: Niam Kurniawan/jatimnow.com)
Waroeg Ireng di Jalan KH Mansyur nomor 100, Bojonegoro. (Foto-foto: Niam Kurniawan/jatimnow.com)

jatimnow.com - Sebuah warung terlihat ramai kala bayang-bayang kian memanjang. Sore itu, terlihat pengunjungnya keluar masuk, ada pemuda, tua, hingga anak-anak.

Warungnya tak terlalu besar, sekitar 4×3 meter persegi. Lokasinya berada Jalan KH Mansyur nomor 100, Bojonegoro. Rasa penasaran tak bisa ditolak untuk mengetahui warung tersebut. Saya pun masuk dan menyaksikan wajah pengunjung nampak semringah.

"Haaah," mereka menghela nafas.

Tergambar jelas rasa capek antrean itu. Namun, sembari menenteng secangkir minuman yang menjadi tujuan mereka, tergambar jelas rasa bahagia.

Satu persatu pengunjung mulai duduk. Saya pun ikut merapat. Mencoba mengamati sembari malu-malu untuk bertanya. Sesekali melirik cangkir pengunjung lain.

Saya pun penasaran, itu tak seperti kopi, teh, wedang jahe, atau kolak kacang ijo, yang biasa disantap saat sore hari. Perlahan, saya masuk antrean.

"Gelas gede opo cilik? (gelas besar atau kecil)," tanya si penjual yang disapa Erna, kepada pengunjung di depannya.

Saya pun memberanikan diri untuk melihat meja penjual sembari berpura-pura menggapai tempe goreng yang agak jauh dari antrean.

Nampak barisan gelas dari ukuran kecil dan besar. Dalamnya ada sudah ada tape ketan hitam. Saat ada pembeli yang memesan, langsung tinggal diseduh dengan air yang panas mendidih dari atas kompor.

"Matur suwun buk, kulo nambah tempene gangsal (Terima kasih bu, saya tambah tempe gorengnya lima)," ucap salah satu pengunjung sembari nerima gelas seduhan tape yang ia pesan dan langsung keluar dari antrean.

"Haaaah," dia lega, sembari duduk perlahan di kursi kayu depan warung.

Lambat laun antrean mulai mengurai, tibalah giliran saya.

Baca juga:
Musim Enthung Jati, Berkah Warga Kawasan Hutan Bojonegoro

"Besar atau kecil mas?" tanya Erna kembali.

Tak berpikir panjang, saya spontan menjawab kecil. Erna pun memulai dengan gelas kecilnya. Perlahan, tape, cairan putih dan air mendidiah ia seduh ke dalam gelas. Lalu ia sodorkan pada saya.

Sembari menerima wedang tape itu, tempe goreng yang sudah saya cicipi masih membekas di mulut. Saya berpikir enak rasanya jika menambah tempe kembali. Ucapan pengunjung sebelumnya pun saya tirukan. "Kulo nambah tempene gangsal."

Setelah mendepat tempat duduk, perlahan saya cicipi wedang tape dengan porsi kecil itu. Bentuk dan komposisinya nampak sederhana, terdiri tape ketan hitam, santan kental, dan air panas. Mirip dengan kolak.

Dari segi rasa, wedang kali ini lebih dominan dengan cita rasa manis. Santan hanya menjadi penyeimbang. Air yang panas bertujuan untuk memadukan santan dan tape larut dalam satu gelas itu. Segar memang, ini sekaligus memiliki cita rasa yang unik.

Baca juga:
Lepet Jagung, Kuliner Tradisional Pengganjal Perut Warga Bojonegoro saat Banjir

Cocok disantap saat sore ataupun malam, menemani hawa dingin. Apalagi, suasana semakin pas karena belakangan Bojonegoro memang sangat dingin saat malam. Bahkan beberapa kali embun sudah turun sebelum mendekat fajar.

Belum sampai separuh gelas, rombongan bermobil datang kembali. Mereka seperti sudah akrab dengan Erna, nampaknya sudah menjadi langganan. Saya pun mempercepat tegukan sembari menghabiskan tempe goreng.

Sembari membayar pesanan, saya mencoba untuk berkenalan dan basa-basi dengan penjual. Terungkap jika warung tersebut memang sudah dikelola oleh tiga generasi. Berdiri sejak tahun 1950.

Masyarakat lebih mengenal warung ini sebutan "Waroeng Ireng". Singkatan dari warung yang menjual wedang ketan ireng (hitam). Warung tersebut memang tak menjual minuman lain selain wedang tape. Namun untuk makanan, warung tersebut juga dilengkapi dengan lontong sayur, rujak cingur, dan beberapa gorengan yang variannya nampak terbatas.

"Gelas kecil ini delapan ribu, gelas besar 16 ribu, rujak cingur 25ribu. Buka dari jam lima sore sampe jam sepuluh," ucap Erna.

Obrolan kami pun terhenti, ketika para pengunjung lain memesan minuman. Namun, rasa ingin tahu kami pun terjawab. Warung tersebut adalah legenda. Berdiri sejak 73 tahun lalu, masih eksis dan tentu menjadi primadona di Bojonegoro.