jatimnow.com - Aktivis perempuan Solidaritas Mahasiswa Indonesia Untuk Demokrasi (SMID) ini adalah salah satu korban penculikan Orde Baru sejak 1995. Namanya Triyana Damayanti. Ia membeberkan kronologis kasus penculikan sejumlah aktivis pada tahun 1998, terkait Prabowo Subianto yang kini menjadi Calon Presiden nomor urut 2, pada Pemilu 2024.
Sebelum menjadi partai politik, Triyana memaparkan, Persatuan Rakyat Demokratik (PRD) adalah induk dari sejumlah organisasi massa yang menaungi elemen buruh, petani, nelayan hingga mahasiswa di era Orde Baru.
"Saat itu saya menjadi anggota SMID," ungkap Triyana yang kini menjadi warga Sukodono Sidoarjo, Kamis (25/1/2023).
Pasca kerusuhan 27 Juli 1996 di kantor DPP PDIP, Jakarta Pusat atau yang dikenal dengan kerusuhan 27 Juli (Kudatuli), pemerintah menunjuk PRD sebagai dalang utama kerusuhan tersebut.
"Banyak aktivis dan mahasiswa ditangkap dan diculik. Mereka diburu dengan tudingan subversi atau rencana menjatuhkan penguasa. Semua tahu lawan politik Orde Baru kerap mati. Tidak selalu melalui proses hukum yang wajar. Pemikiran para aktivis pun demikian, bahwa resiko maut menjemput sudah bersemayam dalam hati," tuturnya
Triyana menceritakan peristiwa yang membekas saat penangkapannya bersama beberapa aktivis lainnya yang tidak bisa ia lupa.
"Saat penangkapan itu, saya sedang libur kuliah, di rumah Blitar. Saya dibawa hanya untuk dimintain kesaksian keterlibatan dalam SMID. Katanya, nanti malam bisa langsung pulang. Begitu kata aparat yang menjemput saya di rumah, namun ternyata pada proses selanjutnya, orang tua saya bahkan tidak diberitahu lagi dimana keberadaan saya," terangnya.
"Saat pemindahan dari Kodim ke Bakorstanasda pun, Ibu dan Bapak gak tahu. Baru setelah setengah minggu ada pemberitahuan ke orangtua bahwa saya dibawa aparat ke Surabaya, dimana-mananya tidak diberi tahu. Ibu Bapak gak tahu anak ada dimana masih hidup atau gak, sempat ada diintervensi juga, setiap hari layangan janji palsu dengan iming pembayaran sejumlah uang," imbuhnya.
Triyana melanjutkan, saat menuju Bakorstanada, banyak tuduhan-tuduhan ia terima dari petugas, mulai intimidasi dan tuduhan tindakan subversif sampai tuduhan PRD-SMID merupakan organisasi dengan ideologi komunis.
"Selain dituduh komunis, saya dituduh gak hapal Pancasila maupun lagu-lagu kebangsaan. Saat saya baru tiba di Bakorstanas, tiba-tiba ada yang datang dan langsung marah-marah minta hormat bendera di tengah lapangan, kemudian diminta ucapkan Pancasila, meskipun saya telah benar mengucapkannya tetap diteriaki salah hingga diminta mengulang berkali-kali," tambah Triyana.
Banyak peristiwa terjadi saat ini menjadi korban penangkapan di Bakorstanasda, bahkan juga mendapat ancaman penelanjangan.
"Selain itu yang saya paling ingat, jeritan teman-teman aktivis lain saat mereka dipukul atau disetrum. Setelah kawan-kawan yang baru datang, babak belur mereka dipertontonkan ke kami dengan hanya memakai celana dalam saja. Tak jarang mereka dipukuli di depan kami," tutur Triyana.
Setelah adanya desakan dari berbagai pihak, termasuk beberapa dosen dari universitas di Surabaya untuk membebaskan aktivis mahasiswa yang ditahan kala itu, barulah Triyana dan kawan-kawan aktivis lainnya dibebaskan.
Baca juga:
Prabowo Ucapkan Sumpah dan Janji Politik di GOR Delta Sidoarjo, Catat ya!
Namun dirinya dikenakan wajib lapor ke Polwiltabes (sekarang Polrestabes Surabaya), namun tak ada proses hukum apapun atas kejadian itu.
Triyana mengakui dirinya dan beberapa kawan aktivis mengalami trauma. Dirinya merasa diperlakukan sebagai teroris, padahal hanya mahasiswa yang tengah menyuarakan ide dan gagasan. Namun kejadian itu tak menyurutkan langkahnya sebagai aktivis.
"Setelah sempat tiarap, kami bergerak kembali, hingga puncaknya tahun 1998 Soeharto mengundurkan diri, dampak dari gelombang demontrasi reformasi yang dilakukan seluruh mahasiswa dan elemen-elemen masyarakat yang lain," ungkasnya.
Triyana mengungkapkan kasus penghilangan paksa tidak hanya terjadi pada tahun 1996 saat ia diculik, namun kasus penghilangan paksa itu kembali terulang pada tahun 1998 dimana 13 korban penghilangan paksa belum kembali hingga kini.
"Saat peristiwa penculikan tersebut, Prabowo kala itu berpangkat Letnan Jenderal Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) dikeluarkan oleh institusi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) karena bertanggung jawab pada kasus penculikan bersama Tim Mawar, sebuah tim kecil yang dibentuk Komando Pasukan Khusus," ungkapnya.
"Ini sudah 25 tahun berlalu, dua kawan saya, Herman dan Bimo termasuk dalam 13 aktivis penghilangan paksa yang belum kembali. Dari sini sudah jelas ada cara menghalalkan segala cara demi kekuasaan. Pastinya kita harus berpikir bahwa orang pintar tidak akan kuatir dengan kekuasaan," tegas Triyana.
Baca juga:
Dewan Pakar Gerindra Gelorakan Dukungan Prabowo-Gibran di Sidoarjo
Triyana menyatakan kekecewaannya terhadap Prabowo sebagai Calon Presiden nomor urut 2.
“Saya kecewa dan merasa dikhianati, baik oleh negara maupun kawan-kawan yang berbalik mendukung Prabowo. Yang mereka lakukan itu merupakan bentuk manipulasi sejarah yang tentu saja sangat melukai keluarga korban yang menjadi korban penculikan," kata dia.
Ia berpandangan bahwa desakan untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM ini bukan hanya sekedar isu 5 tahunan.
"Pendangkalan isu itu jelas pengkhianatan. Selama 25 tahun kami tak pernah lelah memperjuangkannya. Selain itu juga ada Kamisan yang rutin digelar baik oleh mahasiswa, Kontras, IKOHI, dan keluarga yang menjadi korban orang hilang," pungkasnya.
Ia berharap dalam kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, terutama kasus penghilangan paksa aktivis 98, seharusnya pemerintah/Presiden melaksanakan rekomendasi DPR RI tahun 2009.
" Adapun rekomendasi tersebut adalah pertama, presiden membentuk pengadilan HAM. Kedua, membentuk tim untuk mencari 13 aktivis yang saat ini belum jelas nasibnya, dan Ketiga, memberikan rehabilitasi dan kompensasi kepada keluarga korban, merativikasi konvensi arti penghilangan paksa agar di kemudian hari tak muncul kasus pelanggaran HAM serupa," tutup Triyana.