Pixel Codejatimnow.com

Mengenal Ritual Unduh Petirtaan Paseban Agung, Satukan 18 Mata Air di Mojokerto

Editor : Zaki Zubaidi  
Ritual unduh-unduh patirtaan. (Foto: Humas Pemkab Mojokerto)
Ritual unduh-unduh patirtaan. (Foto: Humas Pemkab Mojokerto)

jatimnow.com - Pemkab Mojokerto terus melestarikan ritual budaya unduh-unduh patirtaan. Kali ini, ritual diawali dengan pengambilan mata air di 18 sumber mata air setiap kecamatan se-Kabupaten Mojokerto.

Selanjutnya, mata air tersebut dikumpulkan menjadi satu di Paseban Agung, Desa Trawas, Kecamatan Trawas sebagai bentuk wujud syukur dan menjaga kelestarian sumber air.

Bupati Mojokerto Ikfina Fahmawati serta sejumlah pejabat di lingkup Pemkab Mojokerto pun ikut hadir dan mengikuti prosesi percampuran mata air dari setiap kecamatan yang dibawa oleh camat masing-masing.

Setelah itu, percampuran mata air tersebut didoakan secara lintas agama dan siramkan ke bibit bambu, dan ritual pun dilanjutkan dengan pemotongan tumpeng oleh Bupati Ikfina.

Ritual unduh-unduh patirtaan yang dilaksanakan selama tiga hari (4-6 Maret) itu, juga memperingati Peringatan Hari Air Sedunia, dan Hari Peduli Sampah Sedunia tahun 2024.

Pada kesempatan itu, Bupati Ikfina menjelaskan, bahwa ritual budaya unduh-unduh patirtaan merupakan kegiatan upaya pelestarian lingkungan dan kegiatan budaya di Kabupaten Mojokerto yang menjadi suatu tradisi dari para leluhur.

"Jadi sebetulnya dari dulu kala masyarakat ini sudah melaksanakan secara sporadis. Desa-desa yang punya mata air itu kebanyakan berada di wilayah Pacet-Trawas, karena ini adalah daerah-daerah dataran tinggi di Kabupaten Mojokerto," ucap Bupati Ikfina, dalam siaran pers.

Baca juga:
Sejak Kapan Tradisi Halal Bihalal Ada di Indonesia? Simak Penuturan Khofifah Ini

"Mereka setiap kali ruwah selalu melakukan kegiatan bagaimana memohon kepada Yang Maha Kuasa supaya mata air di daerah mereka terus lestari dan terus diberikan mengalir untuk mengaliri tanaman mereka sebagai sumber air di daerah mereka," imbuh dia.

Selain itu, digabungkannya sumber air tersebut, Bupati Ikfina menjelaskan, agar semua mata air yang telah didoakan dapat mengalirkan air untuk seluruh masyarakat di Bumi Majapahit.

"Jadi tradisi budaya dalam hal ini adalah bentuk simbol, air itu dicampur dan didoakan kemudian saya selaku kepala daerah menyiramkan ke bibit bambu, dan bambu ini adalah salah satu tanaman yang memang serapan daya simpan airnya itu sangat luar biasa, sehingga kemudian setelah itu saya siramkan kembali dan saya serahkan kepada seluruh camat," jelasnya.

Baca juga:
Tradisi Memberi Parcel dan Hampers di Hari Special, Apa Sih Bedanya?

Lebih lanjut, percampuran air dan disiramkan ke bibit bambu serta di serahkan kepada para camat, Bupati Ikfina mengatakan, hal tersebut sebagai bentuk pengukuhan tanggung jawab para camat terhadap menjalankan tugas dalam melayani masyarakat, menjaga kondusifitas lingkungan, serta bertanggungjawab terhadap mata air di tempatnya masing-masing.

Orang nomor satu di lingkup Pemkab Mojokerto juga menjelaskan, dalam melestarikan budaya dan kelestarian lingkungan juga harus didukung oleh seluruh elemen masyarakat, sehingga Ia mengajak seluruh masyarakat untuk menjaga dan melestarikan budaya dan sumber mata air untuk keberlangsungan pada generasi mendatang.

"Kegiatan ini juga dapat bersama-sama dilaksanakan setiap tahun untuk melestarikan budaya dan juga untuk menjaga keseimbangan alam khususnya di Kabupaten Mojokerto. Jaga dan lestarikan tanaman yang tumbuh di sekitar kita. Mencegah kerusakan alam dan itu adalah sumber kehidupan manusia," pungkasnya.