Pixel Code jatimnow.com

Yayasan Gang Sebelah Produksi Film Mat Kauli, Maestro Macapat Gagrak Gresik

Editor : Zaki Zubaidi   Reporter : Sahlul Fahmi
Uman Wahyudi (tengah), salah satu anak Mat Kauli, saat mewakili menerima penghargaan dari Yayasan Gang Sebelah di Kafe Sualoka, Kampung Kemasan Gresik. (Foto: Dok. Yayasan Gang Sebelah)
Uman Wahyudi (tengah), salah satu anak Mat Kauli, saat mewakili menerima penghargaan dari Yayasan Gang Sebelah di Kafe Sualoka, Kampung Kemasan Gresik. (Foto: Dok. Yayasan Gang Sebelah)

jatimnow.com - Sebagai upaya melestarikan budaya macapat di Kabupaten Gresik, Yayasan Gang Sebelah membuat film dokumenter dan audio book Mat Kauli. Ia adalah seorang Maestro Macapat Gagrak Gresik.

Ketua Pelaksana produksi Qonita Riska Syafana menjelaskan film dokumenter yang diberi judul "Penutur Terakhir" tersebut berdurasi 33 menit 9 detik. Rilis film digelar akhir pekan lalu di Kafe Sualoka, Kampung Kemasan, Kelurahan Pekelingan, Gresik. Produksi proyek film tersebut dilakukan selama 6 bulan.

"Proyek produksi film dokumenter dan audio book ini difasilitas Kemendikbudristek dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) melalui Dana Indonesiana,” kata Qonita Riska Syafana, Rabu (28/8/2024).

Qonita menjelaskan tujuan dari produksi film dokumenter ini, agar generasi muda bisa belajar kebudayaan macapat dari Mbah Mat Kauli melalui film atau audio booknya.

Ketua Yayasan Gang Sebelah, Hidayatun Nikmah menuturkan, bahwa Isi film menceritakan bagaimana kisah awalnya menekuni macapat hingga kehidupannya yang sekarang.

"Macapat yang dibacakan Mbah Mat Kauli banyak bercerita tentang fase kehidupan mulai dari kandungan hingga kematian," ujar Hidayatun Nikmah.

Semetara Uman Wahyudi, salah satu anak Mat Kauli, terharu saat film dokumenter perjalan karir bapaknya diputar di hadapan publik. Ia merasa bersyukur orang tuanya itu mendapat banyak apresiasi dari banyak pihak.

"Terima kasih masyarakat dan pemerintah yang sudah memberikan pemperhatikan bapak saya," kata Uman Wahyudi, saat mewakili bapaknya menerima penghargaan dari Yayasan Gang Sebelah.

Sekadar informasi, Mat Kauli kelahiran 1 Mei 1931. Beliau belajar macapat langsung dari almarhum ayahnya, Niti Sastro Samardi, sejak usia 17 tahun. Mat Kauli disebut sebagai penerus almarhum Mbah Nurhasyim, salah satu pembaca macapat asal Desa Lumpur Gresik yang membawakan macapat dengan cengkok pesisiran.

Baca juga:
Hilangnya Film Dirty Vote Disorot

Macapatan merupakan tradisi Gresik sejak zaman Sunan Giri. Berdasarkan sejarah, Sunan Giri lah pencipta dari gendhing Asmaradhana dan Pucung yang menjadi beberapa jenis macapat paling digemari oleh masyarakat.

Mat Kauli hanyalah seorang lulusan dari Sekolah Rakyat (SR) Tingkat III. Ia memiliki 28 cucu dan 13 cicit.

Mat Kauli adalah satu-satunya pelantun macapat gaya Gresik yang masih tersisa. Beliau juga merupakan salah satu seniman macapat Gresik yang mengulas kisah Sunan Giri di dalam Serat Centhini.

Selain itu Mat Kauli menyimpan beberapa naskah tua dalam Aksara Pegon dan Jawa
yang bisa ditemui di kediamannya di Desa Gemantar (Gumantar) Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik.

Mat Kauli telah aktif bermacapat sejak tahun 1949 dan masih terus berkarya hingga sekarang. Beliau sangat ingin tradisi macapatan, khususnya macapat Gresik tetap lestari.

Baca juga:
7 Film Netfilx Terbaru Bakal Rilis di Akhir Tahun

Di usianya yang senja, beliau tetap aktif mengisi acara macapatan di berbagai tempat di Gresik bahkan di luar kota. Saat ini beliau rutin mengisi acara di kantor Pengurus Daerah Muhammadiyah (PDM) Gresik. Di sana ada beberapa orang yang belajar membaca tulisan aksara Jawa kuno.

Selain mengajar tanpa pamrih, beliau juga rela menulis ulang buku peninggalan almarhum ayahnya Niti Sastro Samardi. Mat Kauli mengalihaksarakan huruf Jawa ke tulisan latin dengan tujuan agar semua orang bisa membaca bunyi tulisan meskipun tidak tahu artinya.

Untuk menyelesaikan misi itu beliau bekerja siang hingga malam. Beliau membutuhkan waktu sekitar 14 bulan mulai dari 10 Juli 2010 sampai 10 Agustus 2011 untuk menuntaskan pekerjaan tersebut.

Setelah diterjemahkan, buku bahasa Jawa ang awalnya hanya 995 halaman itu bertambah menjadi 2.222 halaman. Hal iti dikarenakan aksara Jawa perlu penjelasan lebih panjang saat diterjemahkan dengan huruf latin.