jatimnow.com - Komisioner Bawaslu Surabaya Muhammad Agil Akbar keluar dari lokasi sidang pelanggaran kode etik yang digelar Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) di Kantor KPU Jatim, Kamis (10/10/2024).
Agenda sidang dengan tuduhan kasus asusila dengan korban Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) ini tak membuat Agil tertekan.
Saat keluar dari kantor KPU, Agil nampak riang-gembira. Sesekali, ia bahkan menyapa rekan yang juga hadir mendampinginya.
Saat ditemui, Agil yang didampingi istrinya nampak aktif berkomentar didepan kamera. Bahkan, ia beberapa memperlihatkan bukti pembelaan yang ia sampaikan pada saat sidang dengan DKPP.
"Mengadu mendalilkan, apa, kekerasan seksual dan seterusnya. Ya, masa kekerasan seksual setelah itu masih kontak saya dan minta jatah kamar, kan nggak masuk akal,” ujar Agil.
Menurut Agil, tuduhan asusila yang dilakukan oleh Panitia PPK berinisial PSH hanya dibuat-buat, tujuannya untuk menghambat karirnya terlihat moncer.
Agil mengakui pernah dimintai kamar oleh PSH di salah satu hotel. Menurut dia, itu adalah ajakan PSH untuk check-in bersama.
"Masuk di dalam kamar hotel, ada bukti, chatnya dia, telepon dia ke saya," tegas Agil, sembari memperlihatkan bukti-bukti yang ia simpan.
Baca juga:
Aktivis di Bangkalan Bentuk Tim Pendampingan Cegah Kekerasan Seksual
Diketahui, Sidang yang dijalani Komisioner Bawaslu Surabaya Agil Akbar ini tercatat dalam nomor perkara 192-PKE-DKPP/VIII/2024, terkait tindakan asusila.
Sebelummya, saat sidang kode etik itu berlangsung, sejumlah masa yang tergabung dalam Aliansi Suara Perempuan untuk Keadilan menuntut pemecatan Komisioner Bawaslu Surabaya itu.
Mereka mengecam dugaan asusila yang dilakukan Agil, segera diproses. Mereka juga membawa sejumlah spanduk dan poster berisikan kecaman.
"Badan Pengawas Pemilu bukan pemuas nafsu,” tulis salah satu poster yang mereka bawa.
Baca juga:
FISIP UB Wajibkan Mahasiswa Baru Berpakaian Sopan, Cegah Kekerasan Seksual
"Pecat predator seksual,” bunyi poster lainnya.
Tuntutan pendemo pada Agil Akbar (foto: Ni'am/jatimnow.com)
"Sangat disayangkan pejabat atau penyelenggara negara menggunakan jabatannya untuk memperdaya atau menipudaya korban perempuan dengan janji sembarang kalir (segala cara), sampai seorang perempuan dapat tiduri,” kata Fajar Kurnia selaku perwakilan Aliansi Suara Perempuan untuk Keadilan kepada wartawan.