jatimnow.com - Kasus mantan prajurit Marinir TNI AL, Satria Arta Kumbara, yang menjadi tentara bayaran di Ukraina dan kini meminta pemulangan ke Indonesia menjadi sorotan.
Pakar Hubungan Internasional dari Universitas Airlangga, Radityo Dharmaputra, menjelaskan masalah hukum dan kewarganegaraan yang dihadapi mantan prajurit tersebut.
Menurutnya, ada keunikan dalam kasus ini, terutama karena alasan ekonomi yang dikemukakan mantan prajurit tersebut.
"Ini menarik karena alasannya adalah kebutuhan ekonomi. Jangan lupa, yang bersangkutan adalah desertir, meninggalkan dinas aktif, dipecat dari TNI AL, dan seharusnya menjalani hukuman denda dan penjara di Indonesia," jelas Radityo.
Lebih lanjut, Radityo menjelaskan implikasi hukum berdasarkan UU No. 12 Tahun 2006. Mantan prajurit tersebut, dengan berperang untuk negara lain tanpa izin presiden, secara otomatis kehilangan status Warga Negara Indonesia (WNI).
"UU No. 12 Tahun 2006 Pasal 23, yang dioperasionalisasi oleh PP No. 2 Tahun 2007, menegaskan bahwa WNI 'dengan sendirinya' kehilangan kewarganegaraan ketika perbuatan itu terjadi," tegasnya.
Sebagai konsekuensinya, kewajiban Kementerian Luar Negeri (Kemlu) untuk memberikan perlindungan diplomatik gugur.
Baca juga:
Nyesel Jadi Tentara Bayaran Rusia? Mantan Marinir Ini Minta Dipulangkan
"Kemlu hanya bisa memantau pergerakannya. Justru, Kemlu seharusnya sudah memberitahu yang bersangkutan bahwa kewarganegaraannya hilang karena melakukan tindak pidana berperang untuk negara lain," imbuh Radityo.
Radityo juga berpendapat bahwa pemulangan mantan prajurit tersebut tidak perlu dilakukan.
"Ini masalah kecil yang tidak mengganggu hubungan Indonesia-Rusia. Kementerian Pertahanan kedua negara cukup dekat, dan karena yang bersangkutan sudah desersi, dipecat, dan kehilangan kewarganegaraan, maka Kemhan bisa lepas tangan," ujarnya.
Baca juga:
SPTP Catat Arus Peti Kemas Tumbuh 1,08 Persen
Radityo menyoroti pentingnya edukasi kepada masyarakat agar tidak tergiur berperang di negara lain hanya karena uang, mengingat risikonya sangat tinggi.
"Pemerintah perlu mencari akar masalah ini. Apakah karena pendapatan di TNI kecil, sehingga perlu disejahterakan? Atau karena ada motif lain, seperti ideologi, yang perlu ditindak tegas dengan pencabutan kewarganegaraan," tegasnya.
Kasus tersebut, menurut Radityo, menjadi pelajaran berharga agar masyarakat Indonesia tidak gegabah berperang di negara lain.