Pixel Code jatimnow.com

Harmoni Rel dan Kehidupan, Ketika Lokomotif Jadi Tumpuan Masyarakat Urban

Editor : Tim Jatimnow   Reporter : Ali Masduki
Kereta Api melintas di bawah Flyover Mayangkara, Surabaya, Jawa Timur, Selasa (29/7/2025). Foto: Ali Masduki/JatimNow.com
Kereta Api melintas di bawah Flyover Mayangkara, Surabaya, Jawa Timur, Selasa (29/7/2025). Foto: Ali Masduki/JatimNow.com

jatimnow.com - "Tiing tiing, tiing tiing, tiing tiing". Suara khas yang begitu merdu itu mengiringi gerakan palang pintu, menutup akses jalan raya. Perlintasan sebidang, di mana jalan raya dan rel kereta api bertemu, itupun lengang.

Deretan mobil dan sepeda motor yang riuh pun terhenti. Dari kejauhan terdengar lonceng lokomotif, menyampaikan kabar bahwa kereta api sedang mendekat. Rangkaian gerbong dari arah utara melesat kencang menuju barat daya.

Petang itu, Selasa (6/8/2025), saya berada di Flyover Mayangkara, Jl. Jagir, Wonokromo, Surabaya, Jawa Timur. Jembatan layang sepanjang 340 meter dengan lebar 8,8 meter ini sudah ada sejak era 1980-an, dan yang pertama di kota pahlawan. Tujuannya cuma satu, mengurai kemacetan.

Memang benar, volume lalu lintas di wilayah Wonokromo tidak main-main. Sore itu, pukul 17.00 WIB, kendaraan di sisi kanan dan sisi kiri saya berdiri begitu padat. Namun, di balik gemuruh para pencari nafkah pulang kembali ke rumah, panorama senja mengobati bisingnya suara knalpot.

Senja di Flyover Mayangkara, Surabaya, Jawa Timur, Selasa (29/7/2025). Foto: Ali Masduki/JatimNow.comSenja di Flyover Mayangkara, Surabaya, Jawa Timur, Selasa (29/7/2025). Foto: Ali Masduki/JatimNow.com

Tak lama berselang, suara kereta api mulai terdengar dari kejauhan. Rel mulai bergetar dan lonceng sirine mulai berbunyi tanda peringatan bagi siapa saja agar tidak melintas. Ya, tepat di bawah Flyover Mayangkara, ada perlintasan kereta api.

Volumenya juga sangat padat, kereta menuju dan keluar dari Stasiun Wonokromo Surabaya. Seperti biasanya, laju kereta tidak bisa dihentikan. Mau siang atau malam, masinis hanya akan menginjak rem jika sudah tiba pada tujuan sesuai jadwal.

Kereta api, alat transportasi massal yang tak lekang oleh zaman. Moda transportasi darat utama, setelah transportasi jalan raya, tersebut terus bertransformasi. Jika dahulu lokomotif kereta dijalankan dengan api dari pembakaran batu bara atau kayu, kini sudah menggunakan bahan bakar minyak (BBM) jenis solar.

Kereta yang lebih canggih bahkan sudah menggunakan energi listrik. Alhasil, pengguna jalan yang berhenti menunggu gerbong lewat, tidak lagi terpapar kepulan asap dari pembakaran batu bara atau kayu bakar.

Transformasi kereta api Indonesia dari penggunaan bahan bakar hingga pelayanan disambut hangat oleh masyarakat pengguna transportasi umum. Suara deru kereta api yang membelah kota, dulu mungkin hanya dianggap simbol kebisingan dan polusi. Tapi kini irama tersebut berubah menjadi simfoni kemajuan menuju masa depan yang lebih hijau. Bisa dibilang, kereta api adalah solusi transportasi yang ramah lingkungan dan efisien untuk kehidupan perkotaan.

Sinergi BUMN

Niat baik mewujudkan transportasi yang ramah lingkungan dan efisien pada kereta api sudah terjalin sejak lama. Tahun 2024 lalu, PT Kereta Api Indonesia (Persero) teken kerjasama dengan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas).

Pemakaian BBM subsidi di kereta api diatur dalam Surat Keputusan Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak Dan Gas Bumi RI Nomor 53/P3JBT/BPH MIGAS/KOM/2024 tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak Dan Gas Bumi Nomor 94/P3JBT/BPH MIGAS/KOM/2023.

Secara bertahap, kuota terus naik. Pada tahun ini kuota BBM subsidi untuk transportasi kereta api dinaikkan menjadi 209.809 kiloliter. Kuota BBM subsidi tersebut mengalami kenaikan 6,7 persen atau setara 13.156 kiloliter dari kuota 2024 yakni, 196.653 kiloliter. Khusus untuk PT KAI Daop 8 Surabaya, tahun ini menjadi 50.877 kiloliter.

Operator Pertamina Patra Logistik melakukan pengisian bahan bakar minyak (BBM) jenis bio solar pada lokomotif Kereta Api, di  Depo Lokomotif Sidotopo, Surabaya, Jawa Timur, Selasa (29/7/2025). Foto: Ali Masduki/JatimNow.comOperator Pertamina Patra Logistik melakukan pengisian bahan bakar minyak (BBM) jenis bio solar pada lokomotif Kereta Api, di Depo Lokomotif Sidotopo, Surabaya, Jawa Timur, Selasa (29/7/2025). Foto: Ali Masduki/JatimNow.com

Manager Humas KAI Daop 8 Surabaya, Luqman Arif, menjelaskan, BBM bersubsidi digunakan pada kereta penumpang yang mendapatkan subsidi dari pemerintah (PSO). Sedangkan BBM non-subsidi digunakan pada kereta penumpang dan barang lainnya.

"Penggunaan BBM bersubsidi pada kereta PSO seperti KA Probowangi, KA Airlangga, dan sebagainya. Sedangkan untuk non subsidi digunakan pada KA Sembrani, KA Bima, KA Gajayana, dan KA angkutan barang," ungkap Luqman.

Untuk pengisian BBM, Luqman bilang, sarana milik KAI di Daop 8 Surabaya telah sesuai dengan aturan yang ada. Dalam pengelolaan, pihaknya berkolaborasi dengan PT Pertamina Patra Niaga, mulai dari pengiriman, pengisian, serta penyimpanan.

"Kami mendukung penuh upaya pemerintah dalam menghemat penggunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Kereta api terbukti menjadi solusi transportasi yang ramah lingkungan, hemat BBM, dan aman bagi masyarakat," tegasnya.

Mengulik data Ditjen Perkeretaapian tahun 2011, Kereta Api memiliki konsumsi energi per kilometer per penumpang sebesar 0,002 liter. Bus 0,0125 liter, dan mobil pribadi 0,02 liter. Sebagai ilustrasi, Kereta Api Airlangga dengan relasi Surabaya Pasarturi - Pasarsenen, pada bulan Oktober 2024 menggunakan 88.020 liter BBM bersubsidi untuk melayani 26.445 penumpang. Artinya, setiap penumpang menggunakan BBM subsidi kurang lebih 3,3 liter dalam satu bulan.

Jika dibandingkan dengan kendaraan jalan raya lainnya, transportasi kereta api jelas lebih menguntungkan, karena 1 rangkaian KA Airlangga memiliki 8 kereta ekonomi dengan kapasitas 848 tempat duduk, dan menempuh jarak 719 km. Kereta api mampu mengangkut ratusan penumpang dalam sekali perjalanan, bebas kemacetan, tepat waktu, dan mengurangi risiko kecelakaan di jalan raya.

Berdasarkan data Our World in Data, emisi CO per penumpang per kilometer untuk kereta api hanya sekitar 41 gram, jauh lebih rendah dibandingkan mobil (192 gram) maupun sepeda motor (103 gram). Dengan potensi ini, penggunaan kereta api dapat menurunkan emisi karbon hingga 2.141 ton CO per hari, atau sekitar 780.528 ton CO per tahun.

Senada dengan Luqman Arif, Area Manager Communication, Relations & CSR Pertamina Patra Niaga Jatimbalinus, Ahad Rahedi menyampaikan bahwa Pertamina memegang peranan penting dalam penyediaan bahan bakar lokomotif, baik sebagai penyedia bahan bakar utama maupun dalam pengembangan teknologi alternatifnya.

"Pertamina menyediakan berbagai jenis BBM yang dibutuhkan oleh lokomotif, seperti solar dan minyak bakar untuk memenuhi kebutuhan operasional kereta api. Di sisi lainnya, Pertamina bekerja sama dengan PT Kereta Api Indonesia (KAI) dalam mendistribusikan BBM ke berbagai wilayah, termasuk daerah yang sulit dijangkau oleh moda transportasi lain, melalui kereta api ketel," terang Ahad.

Baca juga:
Promo KAI Laris, Penumpang Naik Emisi Turun

Selanjutnya Ahad menyampaikan, terkait pengembangan teknologi alternatif sendiri, Pertamina bersama KAI mengembangkan penggunaan LNG sebagai bahan bakar alternatif untuk lokomotif pada kereta api pembangkit yang terbukti lebih efisien dan ramah lingkungan.

"Dengan peran-peran ini, Pertamina memastikan ketersediaan BBM yang cukup dan berkelanjutan untuk operasional kereta api, serta berkontribusi pada efisiensi dan keberlanjutan sektor transportasi dan energi," tutur Ahad.

KAI Daop 8 Surabaya juga berperan aktif dalam memastikan kelancaran arus kendaraan secara keseluruhan. Yakni menjamin distribusi BBM yang aman dan tepat waktu. Foto: Ali Masduki/JatimNow.comKAI Daop 8 Surabaya juga berperan aktif dalam memastikan kelancaran arus kendaraan secara keseluruhan. Yakni menjamin distribusi BBM yang aman dan tepat waktu. Foto: Ali Masduki/JatimNow.com

KAI sebagai salah satu tulang punggung logistik nasional, memegang peranan penting dalam distribusi BBM, terutama saat libur panjang ketika permintaan energi meningkat secara signifikan.

Selain berperan sebagai transportasi dengan kereta api, KAI Daop 8 Surabaya juga berperan aktif dalam memastikan kelancaran arus kendaraan secara keseluruhan. Yakni menjamin distribusi BBM yang aman dan tepat waktu. Hal ini penting untuk mendukung mobilitas masyarakat yang menggunakan kendaraan pribadi selama liburan.

KAI Daop 8 Surabaya bekerjasama dengan Pertamina, setiap harinya mengoperasikan 5 perjalanan kereta api yang menghubungkan depo-depo BBM. Untuk di wilayah Daop 8 Surabaya terdapat beberapa relasi, antara lain 3 perjalanan dari Stasiun Benteng menuju ke Stasiun Malang Kota Lama dan 2 perjalanan dari Stasiun Benteng menuju Stasiun Madiun.

Setiap harinya rata-rata pengiriman rangkaian BBM relasi Benteng - Kota Lama, KAI Daop 8 Surabaya mengoperasikan 56 gerbong ketel, dengan volume angkut sebesar 2.880 ton. Sedangkan pada relasi Benteng - Madiun, setiap harinya rata-rata KAI Daop 8 Surabaya mengoperasikan 38 gerbong ketel, dengan volume angkut sebesar 1.600 ton. Jumlah tersebut untuk mencukupi kebutuhan BBM di kedua wilayah tersebut setiap hari selama masa angkutan libur panjang.

Nostalgia Perjalanan Kereta Api

Bukan hanya Guru Oemar Bakri, lagu Iwan Fals (1981). Transportasi juga selalu punya cerita. Ada orang yang susah move on kala menggandrunginya. Sebut saja Vespa. Bagi penggemarnya, skuter yang berasal dari Italia itu menjadi belahan jiwa. Begitu pula dengan Kereta Api.

Saya pun penasaran dengan wartawan kawakan di kota Surabaya. Namanya Kris Mariyono. Di tengah padatnya tugas liputan, Mbah Kris, saya panggil, puluhan tahun memilih transportasi Kereta Api.

Kris Mariyono, pengguna kereta api. Foto: Dokumentasi PribadiKris Mariyono, pengguna kereta api. Foto: Dokumentasi Pribadi

Bagi Kris Mariyono, perjalanan kereta api dari Sidoarjo ke Surabaya bukan sekadar komutasi, melainkan sebuah catatan sejarah perjalanan hidup. Selama lebih dari dua dekade, dari tahun 1997 hingga 2019, ia setia menggunakan kereta api sebagai moda transportasi menuju kantornya di RRI Surabaya. Pengalaman tersebut, diwarnai suka dan duka, kini menjadi cerita menarik yang penuh nostalgia.

Baca juga:
Jalur Kereta Api di Stasiun Pegadenbaru Normal Kembali, Perjalanan KA dari Surabaya Tak Lagi Memutar

"Saya naik kereta api dari rumah di Sidoarjo ke Stasiun Gubeng Surabaya sejak tahun 1997 hingga pensiun tahun 2019," kenang Kris. "Sebelum itu, saya juga sudah pernah naik kereta, tapi tidak setiap hari. Kadang naik angkot, sepeda motor, atau bus," lanjutnya.

Keputusan Mbah Kris memilih kereta api didorong oleh dua faktor utama. Kemacetan dan biaya. "Waktu itu, selain bisa berlangganan, kemacetan juga menjadi pertimbangan utama," jelasnya. Ia bilang, biaya langganan kereta jauh lebih murah daripada tiket biasa. "Kalau tidak salah, tiket tanpa langganan sekitar Rp2.500, sedangkan dengan langganan hampir separuhnya untuk sebulan," tebaknya.

Wartawan usia emas itupun membandingkan biaya tersebut dengan transportasi umum lainnya. Rp4.000 untuk angkutan umum Sidoarjo-Terminal Joyoboyo, ditambah Rp3.000 untuk angkot menuju RRI Surabaya. Total pulang pergi mencapai Rp14.000. "Naik kereta jauh lebih ekonomis," tegasnya.

Mbah Kris kerap menggunakan KA Penataran jurusan Blitar-Malang-Surabaya di pagi hari, dan Surabaya-Malang-Blitar di sore dan malam hari. Perjalanan sejauh 28 kilometer (pulang pergi 56 kilometer) ini telah menyaksikan berbagai perubahan di sektor perkeretaapian.

"Ada kenaikan harga langganan, lalu beroperasinya KA Komuter Sidoarjo-Surabaya, yang kemudian diperluas hingga Porong dan Bangil," tuturnya.

Meskipun KA Komuter, yang mulai beroperasi pada tahun 2000-an, masih menggunakan sistem langganan dengan harga yang relatif murah dibandingkan angkot (Rp5.000 untuk Komuter dan Rp10.000 untuk KA Penataran), Mbah Kris mengamati adanya pergeseran.

"Dengan adanya KA Komuter yang tidak berhenti di stasiun kecil, banyak yang beralih ke angkot, terutama setelah sistem online diterapkan. Tidak semua orang memiliki HP Android, dan banyak yang kecewa karena tiket habis terjual online," ujarnya.

Namun, di balik efisiensi dan perubahan sistem, Mbah Kris menyimpan kenangan indah akan keakraban sesama penumpang dan pedagang asongan. "Sebelum era penertiban, kami akrab dengan sesama penumpang dari Sidoarjo, Lawang, Singosari, Malang, bahkan dengan pedagang asongan dan kondektur," kenangnya.

Suasananya lebih longgar. Pernah suatu kali, keretanya terlambat, dan karena ada kereta barang, beberapa penumpang jurusan Sidoarjo dan Bangil, dia terpaksa ikut naik kereta barang! Ada juga kejadian kereta langganan terlambat, dan Mbah Kris terpaksa naik KA Sri Tanjung yang tujuannya Banyuwangi karena ada gerbong barang yang bisa dinaiki.

Mbah Kris mengakui bahwa era sekarang sudah berbeda. Lebih tertib administrasi, keamanan, dan kebersihan. "Tapi, kenangan naik kereta dulu tetap tak terlupakan," tutupnya sambil tersenyum.

Kereta api bukan hanya sekadar alat transportasi, tetapi juga solusi berkelanjutan yang ramah lingkungan dan efisien. Ia menawarkan "Jalur Hijau" bagi masyarakat urban untuk menuju masa depan yang lebih baik.

Minat masyarakat terhadap kereta api terus naik. Seperti yang terlihat di Stasiun Surabaya Gubeng ini. Saat kereta tiba, penumpang antri masuk gerbong. Foto: Ali Masduki/JatimNow.comMinat masyarakat terhadap kereta api terus naik. Seperti yang terlihat di Stasiun Surabaya Gubeng ini. Saat kereta tiba, penumpang antri masuk gerbong. Foto: Ali Masduki/JatimNow.com