jatimnow.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meningkatkan penyelidikan dugaan korupsi dalam pembagian kuota haji tambahan tahun 2023- 2024 ke tahap penyidikan.
Langkah itu memicu kekhawatiran tentang keadilan dalam penyelenggaraan ibadah haji, terutama bagi calon jamaah yang sudah lama mengantre.
Alokasi Kuota yang Janggal
Kasus ini bermula dari tambahan kuota haji sebesar 20.000 dari Pemerintah Arab Saudi. Kementerian Agama kemudian membagi kuota tersebut sama rata, 50% untuk haji reguler dan 50% untuk haji khusus.
Ketua ICMI Orwil Jawa Timur, Ulul Albab, menilai pembagian ini janggal. Menurutnya, Pasal 64 UU No. 8 Tahun 2019 mengatur bahwa 92% kuota haji diperuntukkan bagi haji reguler, sementara hanya 8% untuk haji khusus.
"Perbedaan signifikan ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah ini bentuk diskresi menteri atau pelanggaran norma hukum yang bersifat imperatif?" ujar Ulul Albab.
Peningkatan status kasus ini ke penyidikan menunjukkan adanya indikasi kuat tindak pidana korupsi. KPK kini tengah mendalami dugaan penyalahgunaan wewenang dalam pembagian kuota haji tambahan tersebut.
Ulul Albab mengingatkan bahwa alokasi kuota yang menyimpang dari aturan berpotensi mengarah pada state capture, di mana kebijakan publik direkayasa untuk menguntungkan kelompok tertentu.
"Jamaah haji reguler di Indonesia rata-rata menunggu lebih dari 20 tahun untuk berangkat. Tambahan kuota seharusnya digunakan untuk mempersingkat antrean ini, bukan ditentukan berdasarkan mekanisme pasar," tegasnya.
Secara hukum, diskresi memang diakui dalam administrasi publik. Namun, Ulul Albab menekankan bahwa diskresi hanya sah jika sesuai dengan undang-undang dan asas good governance, seperti transparansi, akuntabilitas, partisipasi, dan bebas konflik kepentingan.
Baca juga:
Maraton 5 Hari Usut Dugaan Korupsi Gedung Pemkab Lamongan, KPK Periksa 29 Saksi
Ulul Albab mengimbau Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) untuk tidak terlibat dalam penerimaan kuota tambahan yang dasarnya lemah. Ia juga menyerukan pemerintah untuk serius dalam mereformasi tata kelola haji.
Akdemisi Unitomo itu berharap KPK dapat menuntaskan kasus ini secara transparan dan akuntabel. Ia mengingatkan bahwa kuota haji adalah amanah, bukan komoditas yang bisa diperjualbelikan.
"Pintu pelayanan haji harus terbuka, transparan, adil, dan amanah," pungkasnya.
Baca juga:
8 Jam Diperiksa KPK di Polda Jatim, Berikut Keterangan Gubernur Khofifah