jatimnow.com - Kasus hilangnya dana nasabah Bank OCBC NISP menjadi sorotan utama dalam sebuah diskusi hukum mendalam yang digelar oleh Academic Research BLS FH Universitas Airlangga (UNAIR) bekerja sama dengan BEM FH UNAIR.
Forum bertajuk “Pertanggungjawaban dan Perlindungan Konsumen dalam Layanan Keuangan Digital” ini secara tajam mengupas celah hukum antara error sistem, klausula baku, dan tanggung jawab perbankan.
Diskusi ini menghadirkan dua figur kunci, yakni kuasa hukum nasabah OCBC NISP, Johanes Dipa Widjaja, dan Komisioner Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Bambang Sugeng Ariadi Subagyono.
Johanes Dipa Widjaja, yang mendampingi nasabah OCBC NISP, Tirtohardjo Rukmono, menyebut kasus ini sebagai bukti nyata adanya persoalan error sistem dalam layanan perbankan digital.
Ia menilai Bank OCBC NISP telah melakukan pelanggaran fatal, yakni abai terhadap prinsip kehati-hatian dan kerahasiaan bank.
"Bank OCBC tidak menjalankan prinsip kehati-hatian dalam menjaga simpanan nasabah. Lebih krusial lagi, data nasabah Tirtohardjo Rukmono bisa diketahui pihak lain, hal ini bertentangan dengan prinsip kerahasiaan bank dan merugikan nasabah," tegas Johanes Dipa.
Menurutnya, hilangnya dana yang dipicu oleh dugaan error sistem dan bocornya data nasabah ini merupakan perbuatan yang secara jelas melanggar hukum. Kasus ini sendiri saat ini tengah bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan nomor perkara 574/Pdt.G/2025/PN.JKT.Sel.
Sementara itu, Bambang Sugeng Ariadi Subagyono dari BPKN, menyoroti praktik “cuci tangan” perbankan melalui pencantuman klausula baku yang merugikan konsumen dalam perjanjian layanan digital.
Ia menjelaskan bahwa banyak bank masih memasukkan Syarat dan Ketentuan Umum (SKU) yang secara sepihak mengalihkan tanggung jawab penuh atas segala transaksi kepada konsumen. Praktik ini, menurut BPKN, dilarang keras oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK).
Baca juga:
OCBC Digugat, Dana Nasabah Hilang: Dampak ke Ekonomi Lebih Luas?
"Seringkali, bank membuat SKU yang menyatakan segala transaksi sepenuhnya menjadi tanggung jawab nasabah. Klausul seperti itu, berdasarkan UUPK, adalah batal demi hukum," jelas Bambang.
Ia bahkan memberikan peringatan keras mengenai konsekuensi hukum bagi pelaku usaha perbankan yang melanggar. "Jika dikaitkan dengan Pasal 62 UUPK, pelaku usaha yang sengaja membuat klausula baku yang dilarang dapat dipidana hingga lima tahun penjara atau denda hingga lima ratus juta rupiah," pungkasnya.
Sementara itu Manager Academic Research BLS FH UNAIR, Kanza Azzahra, menambahkan bahwa diskusi ini sangat relevan untuk memantik kesadaran hukum di kalangan akademisi dan masyarakat.
Isu pertanggungjawaban bank ketika terjadi error sistem digital, menurutnya, membutuhkan kajian hukum yang lebih mendalam.
Baca juga:
Fakultas Farmasi Unair Berdayakan Gili Iyang dengan Anggur Laut dan Multivitamin
"Diskusi ini memberi perspektif penting mengenai celah hukum yang sering dimanfaatkan pelaku usaha, terutama terkait klausula baku yang merugikan konsumen. Kami berharap peserta dapat lebih kritis menganalisis kasus-kasus perbankan di era digital," ujar Kanza.
Ia juga menegaskan pentingnya pemahaman komprehensif mengenai penegakan hukum guna melindungi hak fundamental konsumen.
Melalui pemaparan dari pakar hukum dan komisioner BPKN, forum ini diharapkan dapat memperkuat pemahaman mahasiswa tentang bagaimana hukum harus ditegakkan demi melindungi konsumen dari praktik bisnis yang tidak adil.
Kasus OCBC NISP ini menjadi contoh konkret bagaimana sengketa terkait layanan digital perbankan semakin menuntut kejelasan pertanggungjawaban hukum bank sebagai penyedia layanan di tengah pesatnya adopsi teknologi finansial.