Sidoarjo - Dunia usaha mulai kembali menggeliat setelah dua tahun diterpa pandemi Covid-19. Tak terkecuali Kampung Bebek di Desa Kebonsari, Kabupaten Sidoarjo. Kampung Bebek adalah salah satu desa unggulan dan ikon Sidoarjo yang pernah menyabet penghargaan tingkat nasional pada lomba ketahanan pangan.
Kampung Bebek diresmikan Bupati Sidoarjo Win Hendarso pada 2010. Kampung Bebek di Desa Kebonsari menjadi salah satu pendongkrak perekonomian masyarakat Sidoarjo.
Awalnya, Desa Kebonsari termasuk dalam program IDT (Inpres Desa Tertinggal). Pj Kepala Desa Kebonsari Syaroni bersama keluarganya adalah inisiator penggerak kelompok peternak bebek pertama di Candi Sidoarjo bernama Kelompok Sumber Pangan.
“Dulu pada 1996, Kebonsari ini termasuk desa tertinggal. Kemudian kami buat kelompok ternak bebek untuk dikembangkan. Setelah itu berkembang menjadi sebuah kelompok dan beberapa kali mengikuti lomba ketahanan pangan terkait pemeliharaan bebek, tata kelola dan sebagainya. Mendapatkan juara mulai dari kabupaten, provinsi, hingga nasional pada 2010. Lomba ketahanan pangan dalam konteks ketahanan pangan nabati,” paparnya.
Dari lomba ketahanan pangan tersebut, Syaroni mulai mempelajari pengolahan hasil telor bebek. Mulai diasinkan, disuplai untuk campuran jamu, disuplai untuk bahan martabak, menjadi oleh-oleh khas, dan masih banyak lagi.
Jumlah anggota dalam kelompok sumber pangan ini sekitar 37 orang. Mereka terdiri atas peternak bebek dan perajin telor asin.
Pemilihan bebek untuk dikembangkan bukan tanpa alasan. Selain pemeliharaanya mudah dan tahan terhadap berbagai penyakit, jumlah komoditas pakan ternak juga cukup melimpah.
“Alasan kami memilih bebek adalah karena pemeliharaannya lebih mudah serta murah, tahan terhadap penyakit. Selanjutnya untuk pakan penunjang, di sini banyak ditemukan seperti kupang, kepala udang. Nah, dari situ pakan yang dicari peternak itu lebih mudah. Terakhir adalah produk unggulan telor waktu itu masih jarang dikembangkan beberapa orang di Sidoarjo bahkan di Jawa Timur,” ungkapnya.
Kampung Bebek di Sidoarjo.(Foto: Zainul Fajar)
Bahkan sebelum Kabupaten Brebes dinobatkan sebagai Kota Telor Asin, dulunya sejumlah peternak di Brebes melakukan studi banding dan mempelajari peternakan bebek di Desa Kebonsari.
Berawal dari 9 orang penggerak hingga saat ini bisa merangkul puluhan orang, jumlah populasi bebek di Desa Kebonsari pernah tembus hingga 80 ribu ekor. Kampung Bebek Desa Kebonsari mengalami penurunan drastis baik penjualan maupun produktifitas ternak saat pandemi Covid-19. Saat masa pandemi 2 tahun lalu, banyak peternak dan perajin telor asin yang terpaksa gulung tikar dan menutup usahanya.
Baca juga:
299 Desa di Mojokerto Sandang Status Mandiri, Ini Pesan Bupati
“Banyak peternak yang bangkrut dan memilih untuk tidak melanjutkan usaha telor asin atau ternak bebeknya. Ya, karena kami jualnya juga susah pas pandemi. Selain itu harga pakan ternak juga melonjak saat itu,” imbuhnya.
Sementara itu, salah satu penggerak Kampung Bebek Sulaiman mengatakan bahwa para peternak bebek di Kebonsari mulai kembali tumbuh. Hal ini seiring dengan mulai adanya geliat penjualan di pasaran, baik penjualan langsung maupun secara online.
“Ya, alhamdulillah saya masih bisa bertahan. Untuk saat ini memang kami masih pada masa naik kembali,” ujar Sulaiman.
Sulaiman merupakan salah satu peternak yang berhasil bertahan di tengah pandemi. Kondisi saat ini mengharuskannya untuk bisa bertahan kembali. Kenaikan harga sejumlah pakan ternak juga berpengaruh atas perputaran uang para peternak bebek di Desa Kebonsari.
Ia menegaskan, saat ini para peternak bebek fokus untuk penjualan dan inovasi produk. Sebab pasar sudah mulai bergeliat dan permintaan akan telor asin baik konsumsi maupun sebagai oleh-oleh khas daerah juga telah meningkat.
Satu butir telor asin matang dapat dijual dengan harga Rp3.000 hingga Rp3.200. Sedangkan untuk telor asin yang mengalami retak cangkangnya, biasanya para peternak menghargai di bawah harga jual, yakni Rp2.600 per butir.
Baca juga:
Desa Mandiri di Jatim Tumbuh 4.019 Tahun Ini, Tertinggi Nasional
“Dalam sehari para peternak di sini bisa menghasilkan 18-25 tray (wadah telur). Satu traynya isi 30 butir telur. Jadi antara 550 - 750 butir telur siap olah yang dihasilkan peternak di sini seharinya,” paparnya.
Dalam sehari, rata-rata omzet yang didapat para peternak bebek dari menjual telor bisa mencapai sekitar Rp500 ribu. Diketahui, selama ini Kampung Bebek di Desa Kebonsari menjual hasil olahan telur bebek dengan berbagai cara.
“Kalau saya mengembangkan dengan 3 cara. Yakni original diasinkan biasa, diasap dan digoreng. Ketiganya mempunyai cita rasa berbeda juga. Kalau diasap itu cita rasa pengasapannya dari kulit kelapa khas banget, kalau digoreng ada cita rasa minyak ikan,” tambahnya.
Sulaiman dan para peternak yang ada di Kampung Bebek berharap dapat kembali berjaya seperti dulu. Dukungan yang diberikan pemerintah desa kepada Kampung Bebek menjadi modal awal kebangkitan peternak dan perajin di kawasan tersebut. Selain menjembatani para peternak dan perajin dengan konsumen di luar pulau, pemdes juga akan mendukung penyediaan sarana prasarana penunjang untuk ketahanan pangan yang dialokasikan untuk peningkatan pakan ternak bagi peternak bebek.