Pixel Code jatimnow.com

Kisah Pria Tionghoa Mualaf Gegara Sering Dengar Lagu Wali Band (1)

Editor : REPUBLIKA.co.id   Reporter : REPUBLIKA.co.id
Stevanus Hanzen. (Foto via Republika)
Stevanus Hanzen. (Foto via Republika)

jatimnow.com - Seni tidak sekadar memberikan hiburan, melainkan juga medium pesan. Melalui musik, misalnya, seorang seniman dapat menyam paikan gagasan tentang pentingnya kepedulian atau tenggang rasa.

Bagi Mualaf Stevanus Hanzen, fungsi seni justru lebih intens lagi. Pasalnya, hati mualaf tersebut pertama kali tertarik pada Islam kala dirinya mulai hobi mendengarkan lagu-lagu religi. Sejak duduk di kelas satu SMP, pria berdarah Tionghoa itu menggemari salah satu grup, Wali Band.

Kelompok musik tersebut melejitkan banyak karya yang bernuansa islami. Stevanus mengenang, lirik lagu-lagu Wali Band ternyata menyiratkan pesan ajaran agama.

Ia pun tidak cuma menikmati, tetapi lebih dalam lagi, yakni merenungi kata demi kata yang dinyanyikan mereka. Saat masih belia, Stevanus menetap di bilangan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Pada masa itu, teknologi gawai sudah cukup canggih. Ponsel, misalnya, tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga perangkat hiburan.

Di dalam handphone miliknya saat itu, Stevanus menyimpan nyaris semua lagu yang dibawakan Wali Band. Awalnya, ia sebatas merasa karya-karya grup musik tersebut enak didengar.

Lama kelamaan, ia menangkap amanat dari lirik yang didendangkan mereka. Bagi saya, lirik lagu mereka (Wali Band) sangat mengena di hati dan menyentuh perasaan, ujar pria yang kini berusia 26 tahun itu saat berbagi kisahnya di akun Youtube Mualaf Center Aya Sofia, yang dilihat Republika baru-baru ini.

Karena penasaran, ia pun ketika itu mulai mencari tahu tentang agama Islam. Iseng-iseng, ia mulai mengamati dari kejauhan Jakarta Islamic Center (JIC), masjid terbesar yang berlokasi paling dekat dengan rumahnya.

Batinnya mulai bertanya-tanya, apa saja yang dilakukan orang-orang Muslim di sana? Mengapa berkali-kali dalam satu hari mereka beribadah ke masjid? Apakah tidak capai?

Baca juga:
Kisah Mama Elly, Ibunda Crazy Rich Surabaya jadi Mualaf: Inilah Jalan Saya

Untuk menuntaskan rasa herannya, Stevanus pun mendatangi Masjid JIC. Di bagian depan, ia mendapati papan informasi mengenai jadwal kajian keislaman yang diselenggarakan takmir setempat.

Yang menarik baginya, ternyata pihak pengelola juga memiliki siaran radio dakwah. Jadi, pikir Stevanus saat itu, dirinya tidak perlu repot-repot ke masjid untuk ikut mendengarkan ceramah.

Maka sesuai jadwal, ia pun mempersiapkan ponselnya di rumah. Dari dalam kamarnya, pemuda itu menyimak pemaparan yang disampaikan seorang ustaz, narasumber radio JIC.

Beberapa kali mendengarkan siaran tersebut, Stevanus kian tertarik untuk menghadiri lan gsung kajian di Masjid JIC. Awalnya, ia agak ragu. Pikirnya, bagaimana kalau jamaah setempat mengetahui bahwa dirinya bukan Muslim? Apakah mereka akan mengusirnya?

Baca juga:
Kisah Martinus, Mualaf asal Tulungagung Latihan Puasa Sebelum Ramadan

Ternyata, yang terjadi sangat jauh dari syak wasangka itu. Orang-orang menganggap kedatangannya secara biasa. Setelah menghadiri beberapa kali kajian keagamaan di sana, Stevanus pun mulai menyapa beberapa orang jamaah. Usai mengobrol dan memperkenalkan diri, tahulah bahwa remaja ini adalah non-Muslim.

Namun, mereka tetap ramah kepadanya. Bahkan, seseorang kemudian mengajaknya berkenalan dengan ustaz yang mengisi kajian tersebut. Dai itu juga bersikap hangat. Maka Stevanus semakin nyaman menghadiri pengajian di JIC. (bersambung)

Baca Artikel Asli

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama jatimnow.com dengan Republika.co.id. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab Republika.co.id