Pixel Codejatimnow.com

Kisah Pria Tionghoa Mualaf Gegara Sering Dengar Lagu Wali Band (3-habis)

Editor : REPUBLIKA.co.id  Reporter : REPUBLIKA.co.id

jatimnow.com - Begitu lulus dari SMK, Stevanus diterima bekerja di sebuah perusahaan. Sayangnya, pihak bos sering kali mendiskriminasi pekerja yang Muslim.

Alih-alih bersikap masa bodoh, perangai majikan itu justru membuatnya semakin bersimpati pada orang-orang Islam. Dan, interaksinya dengan mereka juga kian menjadikannya tertarik untuk lebih dekat mengenal agama ini.

Akhirnya, Stevanus membulatkan tekad untuk menjadi Muslim. Pada Februari 2016, ia mendatangi kantor Kementerian Agama (Kemenag) wilayah Bogor. Tujuannya adalah bersyahadat dengan bimbingan dai setempat.

Ternyata, ada lika-liku birokrasi yang rumit. Secara administrasi, disebutkan bahwa orang yang boleh bersyahadat haruslah berusia 21 tahun. Padahal, usia Stevanus saat itu baru 19 tahun.

Pihak setempat membolehkannya tetap berikrar syahadat, tetapi dengan didampingi kedua orang tua. Stevanus kaget. Bagaimana mungkin itu terjadi, padahal ia pun mempelajari Islam secara sembunyi-sembunyi dari mereka?

Setelah mendebat dan diskusi, Stevanus lalu diizinkan bersyahadat dengan membawa minimal dua orang saksi. Ia pun meminta kesediaan seorang dai yang dikenalnya, yakni Yusuf. Sang ustaz juga membawa serta dua orang kawan sebagai saksi. Stevanus pun resmi berislam.

Usai resmi berislam, Stevanus dihadapkan pada persoalan baru. Ternyata, pembinaan untuk kaum mualaf saat itu sangat minim. Maka ia memberanikan diri untuk mencari pesantren yang dapat membimbingnya.

Lama juga dirinya berkeliling daerah Bogor. Akhirnya, sampailah pada sebuah pondok. Sayangnya, pihak pengasuh enggan menerima santri nonmukim. Padahal, Stevanus saat itu masih tercatat sebagai karyawan sebuah perusahaan sehingga tidak mungkin tinggal 24 jam di sana.

Tidak patah semangat, ia pun memilih belajar ibadah-ibadah harian secara mandiri. Tentunya, tiap ada informasi mengenai kajian Islam, itu selalu diikutinya. Namun, ujian berikutnya datang melanda.

Baca juga:
Kisah Martinus, Mualaf asal Tulungagung Latihan Puasa Sebelum Ramadan

Di rumah, ayahnya mendapati buku Iqra di dalam kamar. Setelah dicecar, Stevanus pun mengungkapkan keislamannya. Betapa murka bapaknya itu kemudian. Sekeluarga menjadi ramai. Bahkan, keributan terpaksa dilerai perangkat RT/RW setempat.

Cukup lama hubungannya dengan orang tua menjadi kurang harmonis. Bagaimanapun, Stevanus selalu berpegang pada prinsip agamanya kini. Yakni, bahwa seorang anak harus bersikap bakti dan baik kepada ayah dan ibu, dengan tetap memegang teguh iman-Islam.

Hingga suatu hari, ibundanya mengajaknya ke rumah. Di sana, usai mengobrol Stevanus meng ungkapkan keinginannya menjadi mahasiswa sebuah sekolah tinggi agama Islam (STAI).

Brosur tentang kampus itu pun diberikannya. Tidak diduga-duga, ayah dan ibunya setuju. Padahal, kebanyakan brosur itu berisi tulisan Arab yang tidak mereka mengerti.

Baca juga:
Kisah WNA Belanda Kepincut Wanita Penjual Jus yang Kenal di Facebook

Mulai dari sana, hubungan antara anak dan orang tua itu kian cair. Bahkan, sekarang semuanya baik-baik saja.

Di STAI tersebut, Stevanus belajar dengan giat. Bahkan, pada April 2020 lalu ia berhasil menghafalkan Alquran. Kini, dirinya berfokus pada target selanjutnya: menjadi dosen agama Islam yang profesional dan inspiratif.

Baca Artikel Asli

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama jatimnow.com dengan Republika.co.id. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab Republika.co.id