Pixel Codejatimnow.com

Alasan WNI Menikah dengan WNA, Hanya untuk Perbaikan Keturunan?

Editor : Zaki Zubaidi  Reporter : Farizal Tito
Prof Diah Ariani Arimbi SS MA PhD. (Foto: Humas Unair for jatimnow.com)
Prof Diah Ariani Arimbi SS MA PhD. (Foto: Humas Unair for jatimnow.com)

jatimnow.com - Di zaman yang serba majemuk seperti saat ini, ada fenomena sebagian orang yang terobsesi untuk menikah dengan warga negara asing. Salah satu latar belakang dari keinginan itu adalah perbaikan keturunan lewat perkawinan yang menghasilkan keturunan blasteran.

Kontruksi Kulit Putih

Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga (FIB Unair) Prof Diah Ariani Arimbi SS MA PhD memberikan pendapatnya mengenai fenomena tersebut. Menurutnya, ambisi untuk memperoleh keturunan blasteran merupakan pengaruh pasca-kolonialisme yang masih melekat di masyarakat Indonesia.

“Anggapan bahwa kulit putih menandakan status sosial yang tinggi disebabkan oleh para penjajah barat yang berkuasa dan mengubah tatanan sosial dengan paham the construction of whiteness, dimana kulit putih memiliki kelas sosial yang lebih superior dari pada ras lainnya,” jelas Prof Diah. Rabu (15)2/2023)

Kepala Pusat Bahasa dan Multibudaya Unair melanjutkan, langgengnya konstruksi pada masyarakat modern saat ini membawa dampak bagi seseorang yang ingin mendapatkan keturunan blasteran. Pernikahan dengan warga negara asing adalah cara termudah untuk mendapatkan keturunan blasteran.

"Tidak hanya masyarakat Indonesia saja yang terobsesi menikah dengan warga negara asing dalam hal ini yang berkulit putih. Beberapa ras lain juga merasakan dampak yang sama. Hal ini diperkuat dengan fakta di masa lampau bahwa bangsa kulit putih sebagai penjajah di banyak wilayah," ungkap Prof Diah.

Konsep Kecantikan

Prof Diah melanjutkan salah satu pengaruh pasca-kolonialisme adalah label kecantikan dengan kulit putih, hidung mancung, badan tinggi dan tegap khas ciri fisik ras kaukasoid.

Baca juga:
Kapal Pesiar Pembawa 1500 Bule Bersandar di Pelabuhan Tanjung Perak

Adanya ciri fisik yang mirip dengan kelompok masyarakat blasteran akan memudahkan mereka untuk ‘diterima’. Padahal faktanya, penduduk asli Indonesia didominasi ras malayan-mongoloid, melanesoid, asiatic-mongoloid, dan weddoid yang memiliki ciri fisik sangat berbeda dengan ras kulit putih.
.
“Dampaknya, pasar produk pemutih kulit pada industri kecantikan sangat diminati. Karena bagi masyarakat, indikator utama kecantikan adalah kulit yang putih berseri yang mendambakan konsep kecantikan ideal barat,” ungkap Prof Diah.

Glorifikasi Masyarakat Barat di Indonesia

Bagi masyarakat Indonesia, kelompok bule khususnya ras kaukasoid mampu menciptakan tren baru dan menjadi perhatian.

Secara historis, pada zaman penjajahan, ras kaukasoid dianggap sebagai musuh karena perawakannya seperti penjajah yang kerap disamakan sebagai objek yang negatif. Namun saat ini adanya glorifikasi bule di tengah masyarakat, menjadikan bule sebagai pusat perhatian.

Baca juga:
Bule Tunisia akan Bunuh Diri di Jembatan Suramadu, Kisahnya Bikin Trenyuh

“Saya mendengar cerita mahasiswa asing, khususnya mereka yang berasal dari Afrika dan India. Mereka cenderung sulit mendapatkan teman dan sulit bergaul dari pada mahasiswa internasional lainnya dengan kulit putih yang justru lebih sering diajak bercengkrama terlebih dahulu oleh mahasiswa Indonesia,” pungkas Diah.