Pixel Codejatimnow.com

Melihat Ponpes Tertua di Banyuwangi, Tempat Syaikhona Kholil Bangkalan Nimba Ilmu

Editor : Zaki Zubaidi  Reporter : Eko Purwanto
Pengasuh Ponpes Al-Ashriyah, KH Imam Sadali bersanding dengan penghargaan dari PBNU. (Foto: Eko Purwanto/jatimnow.com)
Pengasuh Ponpes Al-Ashriyah, KH Imam Sadali bersanding dengan penghargaan dari PBNU. (Foto: Eko Purwanto/jatimnow.com)

jatimnow.com - Pesantren Al-Ashriyah, begitulah nama pondok tertua di Banyuwangi. Di tempat ini, ulama besar sekaliber Syaikhona Kholil Al-Bangkalani pernah menimba ilmu agama Islam.

Usia Pondok Al-Ashriyah yang sangat tua diganjar dengan penghargaan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). pada pada 31 Januari 2023 lalu di Jakarta.

"Alhamdulillah dapat (penghargaan) dari Jakarta yang diantar langsung perwakilan dari PCNU Banyuwangi," ujar Pengasuh Ponpes Al-Ashriyah, KH Imam Sadali kepada jatimnow.com, Kamis (13/4/2023).

Gambaran tua sudah terlihat dari beberapa ornamen bangunan pondok. Memang, ada madrasah dan sejumlah gedung yang baru berdiri di pinggir jalan. Namun kesan klasik masih kental di pondok ini.

Di tengah, terdapat bangunan dari anyaman bambu yang masih dipertahankan hingga kini. Di sekeliling luar pondok banyak pohon kelapa menjulang tinggi. Persis seperti cerita di telinga masyarakat NU bahwa Kholil muda pernah jadi pemanjat kelapa di sini.

Menggambarkan bahwa Syaikhona Kholil pernah menuntut ilmu dan diberi upah panjat kelapa oleh sang guru, KH Abdul Bashar, pendiri pondok. Lokasi pondok, berada di seberang sungai Kalisetail, Dusun Jalen, Desa Setail, Kecamatan Genteng.

Disebutkan, Kholil muda pernah berguru kepada KH Abdul Bashar selama empat tahun sebelum berangkat ke Makkah. Menurut KH Imam Sadali, kisah nimba ilmu Syaikhona Kholil justru disampaikan oleh keturunannya.

"Saya sebagai cucunya justru tidak mengetahui dan tidak diceritakan secara turun-temurun. Tahunya (cerita Syaikhona Kholil) dari keturunannya yang datang tahun lalu dan menceritakan pernah nyantri disini selama empat tahun," ujarnya.

Dalam kesempatannya, KH Imam Sadali menceritakan proses berdirinya pondok. Berawal dari sang kakek yang hijrah dari Pandeglang, Banten, bersama 7 orang pengikutnya untuk menyebarkan agama Islam di Banyuwangi.

Sempat berpindah lokasi, akhirnya memantapkan membangun sebuah surau di pinggir Sungai Kalisetail.

Baca juga:
Pengeroyok Santri di Blitar Tak Ditahan, Keluarga Korban Datangi Kejari

"Sempat membuat surau di tempat lain tapi kurang cocok. Barulah di Jalen sini yang posisinya masih hutan belantara dibabat lalu dibuatlah surau," jelasnya.

Sampai akhirnya berdirilah sebuah pondok yang dulunya dikenal sebagai Pondok Jalen. Yang jadi cikal bakal nama sebuah dusun di wilayah Desa Setail.

Singkat cerita, lanjut KH Imam Sadali, pondok mulai berkembang pesat. Dan memiliki banyak pengikut dan santri. Dimungkinkan sebelum kewafatan KH Abdul Bashar, Syaikhona Kholil menuntut ilmu di Pondok Jalen .

"Seperti yang diceritakan keturunannya (Syaikhona Kholil) bahwa beliau pernah jadi santri di sini. Kiai Abdul Bashar wafat pada tahun 1915. Ya sebelum itu beliau mondoknya. Untuk tahun pastinya kurang paham," terangnya.

Sepeninggal KH Abdul Bashar, tongkat kepemimpinan ponpes kerap berganti tangan. Dan kini sudah memasuki generasi ketiga kepemimpinan. Beriringan dengan nama ponpes yang turut mengalami perubahan.

Baca juga:
17 Pesantren Terbaik di Jatim Versi Kemendikbud

"Sebelumnya ya Pondok Jalen. Namun pada 2002 berganti menjadi Al-Ashriyah. Meski berganti nama tradisi pondok dan metode pengajaran kepada santri serta pengikut pengajian tetap dipertahankan sampai sekarang. Termasuk pengajian kitab Hikam yang rutin digelar setiap hari Jumat," terang KH Imam Sadali.

Dikutip dari sejarah islam, Syaikhona Kholil dikenal sebagai waliyullah dengan banyak karomah yang dikenal di kalangan warga Nahdiyin. Santrinya pun kemudian menjadi ulama besar di generasinya.

Tercatat, pendiri NU dan Muhammadiyah, KH Hasyim Asy'ari dan KH Ahmad Dahlan pernah jadi santri Syaikhona Kholil.