Oleh: Ulul Albab
Akademisi dan Ketua ICMI Jawa Timur
DI negeri ini, kita tidak kekurangan teladan kepemimpinan. Rasulullah SAW telah memberikan contoh sempurna: memimpin dengan kasih sayang, amanah, dan penuh pengabdian kepada umat.
Di tanah air sendiri, Ki Hajar Dewantara meninggalkan ajaran yang amat indah: “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani” pemimpin di depan memberi teladan, di tengah memberi semangat, dan di belakang memberi dorongan.
Namun, yang sering kita lihat justru sebaliknya. Terlalu banyak pemimpin publik yang bersikap arogan, merasa berkuasa penuh, dan lupa bahwa sejatinya mereka adalah pelayan rakyat, bukan majikan rakyat.
Padahal, dalam demokrasi, rakyatlah majikan sejati. Jabatan hanyalah mandat sementara, bukan hak milik pribadi.
Kasus di Pati baru-baru ini menjadi cermin pahit. Kebijakan menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250% tanpa komunikasi publik yang bijak, ditambah pernyataan menantang rakyat untuk berdemo, menyingkap persoalan mendasar, yaitu: kurangnya kesadaran bahwa jabatan publik menuntut public service mindset, bukan power mindset.
Pemimpin yang menganggap dirinya “tak tersentuh” akan mudah mengabaikan rasa keadilan dan sensitivitas sosial.
Kita tentu memahami bahwa pajak adalah darah pembangunan. Namun, menaikkan pajak tanpa analisis daya bayar masyarakat, tanpa musyawarah yang terbuka, apalagi dengan bahasa yang menyinggung, sama saja mengundang badai.
Kepemimpinan bukan sekadar memutuskan, tapi juga memastikan keputusan itu dapat diterima dengan akal sehat dan hati lapang oleh rakyat.
Di sinilah pentingnya good governance:
Baca juga:
KPK Usut Korupsi Haji, Gus Lilur Geram: Koruptor Harus Dipenjara!
• Partisipasi publik: melibatkan masyarakat dalam perumusan kebijakan, bukan sekadar mengumumkan keputusan.
• Akuntabilitas: setiap kebijakan harus bisa dipertanggungjawabkan, baik secara moral maupun administratif.
• Transparansi: rakyat berhak tahu alasan, hitungan, dan dampak dari setiap kebijakan.
• Keadilan: kebijakan harus mempertimbangkan kelompok paling rentan, bukan hanya kepentingan fiskal semata.
Kepemimpinan publik yang baik bukan diukur dari seberapa keras ia bisa memerintah, tapi seberapa tulus ia melayani.
Baca juga:
KPK Usut Dugaan Korupsi Kuota Haji: Alokasi Tak Adil, Ibadah Tergadaikan?
Nabi Muhammad SAW bersabda: “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka” (HR. Abu Dawud). Pesan ini sederhana namun dalam: semakin tinggi jabatan, semakin besar kewajiban untuk merendah dan melayani.
Sudah saatnya semua pemimpin, mulai dari Ketua RT hingga Presiden, menginternalisasi prinsip ini. Jika tidak mampu, tidak salah untuk mundur dengan terhormat daripada terus melukai hati rakyat. Sebab, mandat kepemimpinan adalah amanah, bukan alat untuk memamerkan kekuasaan.
Dari kisah di Pati, kita diingatkan: membangun negeri bukan hanya soal infrastruktur, tapi membangun kepercayaan. Dan kepercayaan hanya tumbuh dari pemimpin yang berjiwa pelayan, rendah hati, transparan, dan berpihak kepada rakyatnya.