jatimnow.com - Malam mencekam di akhir Agustus 2025 nyaris meruntuhkan ikon Kota Surabaya, Gedung Negara Grahadi. Kobaran api melalap sisi barat gedung bersejarah itu, sementara ribuan massa yang marah menghujani bangunan dengan batu, molotov, dan petasan. Suara pecahan kaca berpadu dengan teriakan, menciptakan suasana yang mencekam.
Namun, di tengah kekacauan itu, tampil sosok yang mampu meredam amarah massa dengan pendekatan humanis: Pangdam V/Brawijaya, Mayjend TNI Rudy Saladin.
Beberapa jam sebelum kerusuhan pecah, Rudy Saladin memberanikan diri menemui langsung massa aksi. "Ijo! Ijo! Ijo!", sorak massa menyambut kedatangannya. Dengan senyum yang menenangkan, ia berusaha mencairkan ketegangan.
"Saya melihat mereka dewasa. Ketika ada yang melempar botol, mahasiswa sendiri yang melarang. Mereka tak suka kerusuhan," ungkap Rudy, menjelaskan alasannya memilih pendekatan dialog.
Keputusan ini bukan tanpa risiko. Rudy mengakui sempat bergulat dengan keraguan sebelum terjun ke tengah kerumunan. Namun, naluri kepemimpinannya mendorongnya untuk berempati dan mendengarkan tuntutan mahasiswa.
"Mereka minta teman-temannya yang ditahan di Polrestabes Surabaya dibebaskan. Saya sampaikan, kita cari jalan bersama," jelasnya.
Setelah berdialog, Rudy bersama Gubernur Khofifah Indar Parawansa dan Kapolda Jatim bergerak cepat menuju Polrestabes Surabaya untuk melobi pembebasan mahasiswa. Namun, situasi kembali memanas saat rombongan meninggalkan Grahadi, dan api mulai berkobar.
Di tengah kobaran api, Kepala Staf Korem 084/Bhaskara Jaya, Kolonel Inf Nico Reza H. Dipura, menerima perintah langsung dari Pangdam V/Brawijaya untuk mengamankan lokasi dan memastikan pemadam kebakaran dapat bekerja dengan aman.
"Segera padamkan," tegas Nico, mengutip perintah Mayjend TNI Rudy Saladin saat mendengar insiden tersebut. Ia pun segera berkoordinasi dengan seluruh personel di lokasi untuk memadamkan api.
Baca juga:
Provokator Demo Ricuh hingga Pembakaran Gedung Grahadi Surabaya Ditangkap
Wakil Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Surabaya, Bambang Vistadi, juga bergerak cepat mengatur strategi pemadaman. "Kalau terlambat lima menit saja, habis sudah Grahadi," kenangnya, menggambarkan betapa gentingnya situasi saat itu.
Dengan sigap, Bambang mengerahkan empat truk pemadam kebakaran untuk menjangkau titik api dari sisi belakang Grahadi, yang telah diamankan oleh TNI dan warga.
"Kami menggunakan metode spray dan jet secara bergantian untuk memadamkan api," jelasnya.
Rudy Saladin mengungkapkan empat hal penting yang menjadi senjatanya dalam menghadapi situasi genting seperti ini: berpikir cepat, intuisi, berani mengambil risiko, dan empati.
Baca juga:
Update Grahadi Surabaya: Polisi Bubarkan Demonstran
"Berpikir cepat, intuisi, berani mengambil risiko, dan empati sangat penting dalam kondisi demikian," tegasnya.
Baginya, menjaga stabilitas tidak bisa dilakukan TNI sendirian. Ia menekankan pentingnya sinergi lima unsur: pemerintah, akademisi, masyarakat, media, dan dunia usaha.
"Kita hidup di era post-truth. Kalau lima unsur ini tidak saling percaya, yang hancur pertama kali adalah ekonomi. Dunia usaha harus yakin pemerintah mampu menjaga keamanan," pungkasnya.
Berkat sinergi dan kepemimpinan yang humanis, api berhasil dipadamkan sebelum merembet ke gedung utama.
Mahasiswa pun turut membantu menjaga ketertiban, membuktikan bahwa pendekatan yang tepat dapat meredam amarah dan mencegah kekacauan yang lebih besar.
URL : https://jatimnow.com/baca-79056-empati-dan-keberanian-redam-amuk-massa-di-gedung-grahadi