Oleh: Ulul Albab
jatimnow.com - Ada yang baru nih di ketatanegaraan kita, yaitu “Ibu Kota Politik”. Mungkin kita bertanya-tanya: Istilah apa lagi ini?. Ya. Itulah istilah yang tertulis dalam Perpres Nomor 79 Tahun 2025. Frasa yang terdengar keren. Tapi juga bikin dahi berkerut.
Kita sudah punya istilah resmi: ibu kota negara. Frasa itu termaktub dalam UU Nomor 3 Tahun 2022 secara jelas, yaitu: Nusantara ditetapkan sebagai ibu kota negara. Lalu, mengapa tiba-tiba muncul tambahan “politik”? Apakah ini sekadar gaya bahasa birokrasi untuk memberi nuansa baru pada IKN? Atau justru, jangan-jangan, ini sinyal politik yang lebih dalam?
Simbol atau Norma?
Dalam dunia hukum tata negara, setiap istilah punya beban makna. “Ibu kota politik” bukan istilah konstitusional. Tidak ada dalam UUD 1945. Tidak ada juga dalam UU IKN. Baru muncul di level Perpres.
Kalau ini hanya simbol, mestinya tidak masalah. Tapi kalau simbol itu dibiarkan tanpa penjelasan, bisa berubah jadi problem. Karena rakyat bertanya-tanya: apakah Jakarta itu ibu kota ekonomi? Atau ibu kota diplomatik? Atau apakah kini kita punya dua ibu kota sekaligus?
Implikasi Serius
Kalau disebut “ibu kota politik”, logikanya semua lembaga politik harus di sana. DPR, MPR, partai politik, bahkan pusat lobi-lobi kekuasaan. Tapi kenyataannya? Pemindahan lembaga negara ke IKN masih setengah hati. Anggaran terbatas. Gedung belum siap. Banyak lembaga masih enggan meninggalkan Jakarta.
Di sisi lain, diplomasi internasional juga ribet. Kedutaan besar, kantor perwakilan asing, semuanya masih ada di Jakarta. Mau dipindah? Tidak gampang. Harus ada regulasi, protokol, dan ini yang paling pelik: kesediaan negara lain.
Maka, jangan heran kalau istilah “ibu kota politik” justru menimbulkan kebingungan. Apakah ini sekadar bahasa politik, atau sudah mengandung konsekuensi hukum?
Baca juga:
Bereskrim Polri Ungkap Tambang Batubara Ilegal di IKN, Kerugian Negara Rp5,7 T
Gaya Birokrasi Kita
Kita sering jatuh bernostalgia pada penyakit lama, yaitu: suka menciptakan istilah. Seolah-olah istilah baru bisa menyelesaikan masalah lama. Padahal, tanpa kejelasan hukum, istilah itu hanya jadi jargon. Seperti jargon “NKRI harga mati” atau “Aku Indonesia kamu Siapa”.
Kita masih ingat bagaimana kita berhamburan istilah, seperti “ekonomi kerakyatan”, “triple track strategy”, sampai “nawacita”? Bagus di atas kertas, tapi sering kabur di lapangan. Apakah “ibu kota politik” akan bernasib sama?
Butuh Kejelasan
Kalau pemerintah serius, sebaiknya definisi itu dijelaskan resmi. Jangan biarkan rakyat menebak-nebak. Karena dalam tata kelola negara, ketidakjelasan adalah musuh legitimasi.
Baca juga:
Gubernur Jatim Khofifah Tanam Simbol Peradaban Baru di IKN
Kalau hanya sekadar branding, ya sebut saja branding. Tidak perlu dipakaikan baju hukum. Tapi kalau memang ingin memberi status baru, maka jalurnya harus jelas: lewat undang-undang. Jangan hanya lewat Perpres.
Penutup
Boleh jadi, istilah “ibu kota politik” hanya slip of the tongue dalam dokumen formal. Tapi di negeri ini, slip bisa punya dampak panjang. Dari hanya soal frasa, bisa jadi tafsir. Dari tafsir, bisa jadi konflik.
Karena itu, mari kita tunggu penjelasan resmi. Jangan sampai IKN keburu disebut “ibu kota politik”, tapi praktik politiknya masih tetap berlangsung di Jakarta. Ironis, bukan? Atau jangan-jangan ini semua hanyalah politik ibu kota?
URL : https://jatimnow.com/baca-79263-ibu-kota-politik-janganjangan-hanya-politik-ibu-kota