Surabaya - Pengurus Yayasan Masjid Agung Sunan Ampel (YMASA) Surabaya melayangkan gugatan ke Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia (Kemenkumham). Gugatan itu dilakukan buntut dari adanya dualisme dalam kepengurusan di masjid tersebut.
Dualisme terjadi antara Yayasan Masjid Agung Sunan Ampel (YMASA) dengan Yayasan Masjid Agung Sunan Ampel Soerabaja (YMASAS). Gugatan itu dilakukan karena ketidaksinkronan data yang dilakukan YMASAS yang mengklaim bahwa kepengurusannya adalah yang paling sah dimata hukum.
"Nah dari yayasan tersebut kami melakukan gugatan kepada kemenkumham atas berdirinya yayasan tersebut, karena kami menganggap ada perbedaan antara akta dan SK kami. Nah mereka pun sering bilang, kami punya SK yang sah, nah ini kan nggak sinkron (seharusnya akta) sehingga kami lakukan gugatan," ujar pengacara YMASA Hendra Gunawan, Selasa (12/4/2022) petang.
Hendra mengatakan, setelah pihaknya mencermati, tergugat YMASAS telah melakukan kebohongan secara publik yang mengklaim kepengurusannya telah memiliki SK oleh Kemenkumham. Padahal, hanya akta tentang perubahan kepengurusan yang dilakukan pada 2019 silam.
"Kemudian pada 2019 itu ada perubahan dengan merubah susunan pengurus sehingga susunan pengurusnya dirubah lagi dan telah memiliki SK dari Kemenkumham. Setelah beberapa bulan berjalan, hanya dua bulan. Tiba-tiba muncul yayasan baru yang dengan nama mirip dengan yayasan sekarang, ada kata-kata penambahan dibelakangnya itu," jelas Hendra.
"Nah yayasan baru ini kalau kami lihat dari aktanya itu sebenarnya bukan yayasan baru, isinya adalah perubahan data pengurus Yayasan Masjid Agung Sunan Ampel," imbuhnya.
Sehingga, dari situ perlu adanya ketegasan dari Kemenkumham untuk melakukan kajian ulang tentang pengelolaan area religi Sunan Ampel di kawasan Jl Ampel Masjid, Semampir, Surabaya itu.
"Nah kalau mengacu pada undang-undang yayasan, yayasan yang hanya melakukan perubahan data dan kepengurusan, itu hanya mendapatkan pengesahan dari Kemenkumham (akta), bukan surat keputusan (SK). Jadi sejak yayasan itu ada, semua kepengurusan itu diambil oleh yayasan tersebut. Jadi sempat terjadi pengusiran atau sengketa di lapangan," tegasnya.
Baca juga:
Warga NU Blitar Gugat PBNU Terkait SK Pengesahan PCNU 2024
Di tempat yang sama, Ketua YMASA Ahmad Hifni mengaku YMASA merupakan lembaga yang sah untuk mengelola wisata religi Sunan Ampel. Pihaknya mengaku, memiliki SK yang sah dari Kemenkumham.
"Jadi yayasan kami ini meneruskan dari yayasan yang dibentuk sesepuh dulu dari tahun 70-an. Menjelma menjadi yayasan kita ini, lalu ada yang membentuk yayasan baru, nah ini yang menguasai lapangan, nah ini dikesankan bahwa itu dikuasai," ujar Gus Hifni sapaan akrabnya.
Ia berharap dualisme tersebut bisa segera diselesaikan. Bahkan dirinya berharap jika pihak YMASAS mau melakukan mediasi dengan dirinya dan lebih terbuka dalam mengelola area Sunan Ampel.
Mengingat, masjid dan seluruh area Sunan Ampel merupakan milik seluruh umat secara umum. Dari dualisme tersebut, lanjut Hifni, pengolaan area Sunan Ampel menjadi tersendat begitupun pembangunan-pembangunan infrastruktur bagi para pengunjung.
Baca juga:
Mahasiswa Jatim Gugat KPU RI Hentikan Proses Pencalonan Prabowo - Gibran, Ini Dalilnya
"Jadi kalau secara fisik itu mungkin, apapun konflik itu menjadi negatif ya, tidak nyaman, jadi masalah pelayanan kepada peziarah itu menjadi berkurang. Trus lagi tentang Masjid Ampel ini kan milik semua golongan, jadi kok menjadi terbatas," jelas Hifni.
Ia juga menjelaskan, perebutan pengelolaan Sunan Ampel itu bukan tanpa sebab mengingat aset yang luas ditambah zakat dari para pengunjung perbulannya bisa mencapai Rp1 miliar.
"Ya tentunya besar ya, kira-kira karena saya menyatakan, saya sendiri tidak pernah, bahkan belum pernah menyaksikan, kalau dari cerita-cerita itu 1 M, itu lebih bahkan dalam waktu 1 bulan, itu rata-rata saja," tandasnya.