Pixel Code jatimnow.com

Pejabat Publik Aktif di Medsos, Pakar: Harus Siap Risikonya

  Reporter : Erwin Yohanes Farizal Tito
llustrasi/Screenshot akun Facebook Kepala Dinas Pendidikan Jatim Saiful Rachman
llustrasi/Screenshot akun Facebook Kepala Dinas Pendidikan Jatim Saiful Rachman

jatimnow.com - Bagi pejabat publik yang 'bermain' media sosial (medsos) harus tahan banting. Termasuk siap mendapatkan risiko bullying atau perundungan hingga diseret ke jalur hukum.

Patut Dibaca: 

Pakar Komunikasi Universitas Airlangga (Unair), Suko Widodo, mengatakan pejabat yang aktif di medsos itu artinya mereka bertransformasi sosial maka harus siap menghadapi komentar dari netizen yang memiliki psikologi egaliter atau sederajat.

"Jika pejabat masuk di ruang medsos, memang bisa nambah populer. Boleh saja bermedsos, tapi mesti memahami persis psikologi komunikasinya medsos. Karena medsos itu sifatnya partisipannya setara atau egaliter," terang Suko Widodo, Sabtu (29/9/2018).

Jika mengabaikan, Suko yang juga menjabat sebagai Kepala Pusat Informasi dan Humas Unair itu mengatakan pejabat tersebut akan menjadi bahan bullying netizen sehingga berujung menjadi kurang populer.

"Sifatnya netizen itu tak peduli siapa yang bicara, jika tidak suka, langsung direspon bebas. Bahkan dalam posisi ekstrim bisa diserang atau di-bully tanpa ampun," terangnya.

Menurut Suko, para pejabat lazimnya berusia lebih tua dari mayoritas kaum netizen. Sehingga memunculkan "generation gap" pejabat yang bermedsos dengan mayoritas netizen.

Baca juga:
Kebakaran Rumah Parkir di Surabaya, Sengaja atau Lalai?

"Tapi apakah dia siap menghadapi respon netizen yang berekspresi bebas. Bahkan abaikan unggah ungguh? Jika siap silahkan bermedsos, tapi musti siap bermental netizen," pesan Suko.

Sementara itu, Supangat,M.Kom,IT-IL,Cobit, seorang pakar Teknologi Informasi Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya juga mengingatkan para pejabat publik harus memahami literasi bermedsos.

Karena medsos sejatinya instrumen yang netral, jika penggunanya tidak bisa hati-hati bisa menjadi alat yang berdampak negatif atau bumerang. Karena jejak digital tidak bisa dihapus, jika seseorang salah memposting konten, akan tetap bisa dipantau.

Kemudian risiko lain bagi pejabat publik teledor bermedsos terlebih pengelolaannya dipercayakan pada pihak kedua atau sewa jasa operator maka akibatnya bisa sangat fatal hingga berujung ke jalur hukum.

Baca juga:
54 Motor Siswa Terbakar, Kepsek SMKN 1 Kembali Tawarkan Gedung Parkir

"Saat ini agen pengelolaan medsos itu sering menerima job dari pejabat publik maupun artis. Bahkan diantaranya juga ada kontrak kerja profesional. Tapi jika tidak di kontrol, akan sering bersinggungan penerima pesan," jelasnya.

Jika menyangkut atau mengganggu kenyamanan orang lain seperti menyangkut nama baik maka agen pengelola medsos itu bisa dituntut secara hukum.

"Saat ini kan sudah ada UU IT (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik), jika itu terjadi ya bisa dibawa ke ranah hukum,.Karena mereka menyerahkan secara sadar dan biasanya tertulis," pungkasnya.