jatimnow.com - Indonesia menghadapi tantangan kesehatan ganda, yakni lonjakan Penyakit Tidak Menular (PTM) dan belum tuntasnya masalah gizi kronis seperti stunting.
Menanggapi situasi ini, Guru Besar baru Keperawatan Komunitas Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya), Prof. Pipit Festi Wiliyanarti, menawarkan solusi fundamental: memberdayakan keluarga menjadi 'agen perubahan' melalui konsep "Health Promoting Family".
Gagasan ini menjadi inti orasi ilmiah Prof. Pipit dalam pengukuhannya pada Rabu (22/10), yang berjudul “Optimalisasi Kesehatan Komunitas dengan Pendekatan Health Promoting Family di Era Transformasi Layanan Kesehatan”. Ia menegaskan bahwa akar dari hampir semua masalah kesehatan nasional berada di lingkup paling dasar, yaitu rumah tangga.
Prof. Pipit mengungkapkan, data Kementerian Kesehatan RI (2024) yang mencatat 73 persen kematian di Indonesia disebabkan PTM seperti jantung, hipertensi, dan diabetes. Sementara itu, angka stunting, meski menurun, masih berada di angka 19,8 persen, dengan Jawa Timur tercatat sebagai salah satu provinsi dengan kasus tertinggi.
“Kita sering lupa bahwa akar dari semua ini ada di rumah. Kebiasaan makan, pola istirahat, cara kita merespons stres, semua dibentuk dari keluarga,” ujarnya dalam acara pengukuhan Guru Besar, di UM Surabaya, Kamis (23/10/2025). Ia pun mengajak semua pihak, dari akademisi hingga tenaga kesehatan, untuk menggeser fokus dari pengobatan ke pencegahan.
Menurutnya, transformasi sistem kesehatan nasional yang tengah digalakkan pemerintah hanya akan efektif jika keluarga diikutsertakan sebagai pelaku utama promosi kesehatan, bukan hanya penerima layanan.
“Selama ini kita terlalu fokus pada rumah sakit dan pengobatan, padahal investasi terbesar ada pada pencegahan. Keberhasilan transformasi tidak diukur dari jumlah rumah sakit modern, tetapi dari kemampuan keluarga menjadi co-creator of health, pencipta, pelaku, dan penjaga kesehatannya sendiri,” tegasnya.
Dalam orasinya, Prof. Pipit memperkenalkan konsep Health Promoting Family, yaitu keluarga yang secara aktif menanamkan nilai gizi seimbang, kebersihan lingkungan, dan kesehatan mental di antara seluruh anggotanya. Keluarga jenis ini tidak pasif menerima informasi, melainkan aktif menjadi penggerak perilaku hidup sehat di komunitasnya.
Konsep ini menuntut keterlibatan seluruh anggota, termasuk anak-anak. Prof. Pipit menyebut anak-anak dapat berfungsi sebagai subjek aktif, mulai dari pengingat jadwal imunisasi, mengajarkan penggunaan aplikasi kesehatan seperti SatuSehat, hingga membantu orang tua memahami informasi medis digital.
Baca juga:
Gubes UM Surabaya: Era AI, Ruh Guru Lebih Penting dari Kurikulum & Metode
Selain itu, ia juga menyoroti peran sentral perempuan dan ibu. “Perempuan adalah pusat kehidupan. Ketika seorang ibu sehat dan berpengetahuan, satu keluarga akan selamat,” katanya.
Tingkat literasi kesehatan masyarakat yang rendah menjadi tantangan serius. Prof. Pipit mengungkapkan, banyak keluarga tidak tahu cara membaca hasil pemeriksaan, memilih makanan bergizi, atau menggunakan aplikasi kesehatan. Peningkatan literasi, menurutnya, adalah strategi penting untuk membentuk keluarga yang mandiri dan tangguh.
Melalui penelitiannya di daerah pesisir Lamongan dan Madura, Guru Besar UM Surabaya ini telah membuktikan efektivitas pendekatan Health Promoting Family, terutama dalam pencegahan stunting. Salah satu inovasi yang dikembangkan adalah produk pangan lokal “Koya Nate”, kombinasi ikan tuna dan tempe, yang terbukti sukses meningkatkan status gizi balita di wilayah tersebut.
Pendekatan berbasis budaya lokal dan pemberdayaan keluarga terbukti lebih efektif dibandingkan intervensi yang seragam.
Baca juga:
Film Pengen Hijrah Ajak Gen Z Berdakwah Lewat Film, Tayang 30 Oktober!
Dalam visi jangka panjangnya, Prof. Pipit mengaitkan konsep keluarga promotif dengan pencapaian Generasi Emas 2045.
“Generasi emas tidak cukup dengan pendidikan tinggi, tapi juga kesehatan yang prima dan karakter yang kuat. Semua itu dimulai dari rumah,” jelasnya.
Prof. Pipit kembali menegaskan bahwa pengukuhan Guru Besar bukanlah puncak, melainkan awal tanggung jawab baru untuk mengaplikasikan ilmu di tengah masyarakat.
“Jabatan Guru Besar bukanlah puncak, melainkan awal tanggung jawab baru. Tugas saya kini bukan hanya meneliti, tapi menyiapkan generasi perawat dan peneliti yang turun langsung ke masyarakat. Jika setiap keluarga menjadi keluarga promotif, maka Indonesia akan melangkah mantap menuju generasi emas yang sehat, unggul, dan berkarakter,” pungkasnya.